17. penyerangan

4.9K 582 62
                                    

BAB 17. Memberontak

Mahendra kembali menyuruh para bawahnya yang lain untuk mengurung Al, kali ini lebih banyak dari sebelumnya, mereka semua sudah mengepung kamar Al, seolah tak membiarkan sedikitpun celah untuknya.

Masih di tempatnya, Al memejamkan matanya lelah, ia hanya ingin beristirahat sejenak untuk mengumpulkan energinya saja, kenapa orang orang ini sangat suka mengganggu dirinya akhir akhir ini.

“Hah,,, bukankah seharusnya kalian senang dengan perubahan saya? Saya sudah tidak terlihat bodoh bukan? Bahkan nilai saya berkembang pesat, tapi kenapa kalian tak membiarkan saya bernafas bebas barang sedetikpun?” gumamnya lirih. Ia tetap tidak membuka matanya, sangat malas hanya untuk sekedar melihat wajah memuakkan para Sebasta.

“Asalkan kalian tau, saya seperti ini itu semua karena kalian, kalian yang memaksa saya melakukan semuanya. Hidup menjadi robot yang harus memenuhi perintah sang majikan bukanlah hal mudah, terkadang ia juga akan rusak jika sudah melebihi kapasitasnya”

Mahendra dan kedua anaknya terdiam, mereka merasakan sesak di dadanya. Perasaan sakit saat melihat Al mengatakan sesuatu dengan posisi lelah dan mata yang tertutup, seolah tak sudi menatap mereka semua.

“Apa anda tahu tuan Mahendra betapa tersiksanya seorang anak yang di peralat oleh Ayah kandungnya sendiri?, hidup bagaikan di penjara, tidak ada kebebasan sama sekali, bahkan semua kegiatannya diatur oleh sang majikan dari bangun tidur sampai tidur kembali. Apakah anda tahu betapa lelahnya saya menahan kantuk? Lihatlah dengan jelas seberapa rusak tubuh ini”

Mereka semua menatap Al dari atas sampai bawah, tubuh kurus kering yang sedikit berotot, mata hitam seperti panda, kulit putih pucat yang di hiasi banyak luka lebam biru keunguan. Saat ini Al menggunakan kaos lengan pendek dan celana pendek selutut, sehingga tubuhnya sedikit terekspos.

Seolah tersadar, tidak ada pipi tembam seperti dulu, tangan kecil yang terlihat kuat itu sudah hilang digantikan dengan tangan besar yang terlihat lemah.

“Anda tahu? Sebelum bunda saya meninggal, tubuh ini dijaga dengan sangat baik, di perlakukan seperti berlian, jika kotor sedikitpun ia akan membersihkannya dengan jiwa dan hati hati” ujarnya kembali terseyum miris, mengingat kenangan indah bersama mendiang sang bunda.

Ingatan mereka jatuh saat Al waktu kecil terjatuh tersandung ke lantai, tidak ada luka serius hanya sedikit goresan pada lututnya, namun sang bunda dengan mata yang memerah dan penuh hati hati mengangkat Al kecil kedalam gendongannya. Seolah seolah berlian berharga yang rapuh, ia mengobati luka Al dengan air mata yang sedkit keluar dari tempatnya.

“Padahal hanya luka kecil, namun bisa membuatnya meneteskan air mata” matanya masih terpejam, mengenang semua ingatan yang melintas di kepalanya, tak terasa setetes air mata meluncur dari tempatnya.

“Apa kalian tau tuan, seberapa menderitanya ana itu? Sekali saja tak bisakah kaian bertanya ‘apakah dia baik baik saja?’ apa anda  tahu iibetapa beratnya dia mencoba untuk hidup dengan kehidupan yang anda sekalian inginkan darinya?”

“Intonasi suara tinggi ketika kau tau nilaiku tak sesuai harapanmu, pukulan hingga cambukan yang ia dapatkan membuatnya berfikir, seberapa harus sempurnanya ia agar bisa dianggap sebagai anak yang membanggakan”

“Setiap hari ia sangat ketakutan, apa anda sekalian tau betapa menyedihkannya dia? Meringkuk di tempat gelap dan sepi, padahal ia sendiri takut dengan galap”

“Tapi ia berhasil bertahan dengan semua itu, karena itu membuat kaian bahagia meski ia sendiri harus hancur, meskipun begitu dia berfikir kalian semua akan menyadari seberapa besarnya pengorbananannya. Tapi ternyata tidak. Terkadang keluarga sendiri yang paling tidak sadar”

Tanah Tandus || ENDWhere stories live. Discover now