29. terjebak

4.2K 525 692
                                    

BAB 29.

 

 

Aku tidak memiliki banyak energi. Entah untuk melayani opini manusia, atau untuk menelan realita. Aku tidak mengerti cara dunia bekerja. Mengapa yang asing peduli, sedangkan yang dekat begitu acuh.

Aku tidak mengerti cara dunia menilai. Mengapa beropini hanya dengan mendengar mata? Padahal kita memiliki akal dan telinga. Setidaknya, dengarkan. Jika tidak paham, jangan bungkam.

Srek.

Al menutup bukunya setalah menuliskan sebuah kata dengan secoret tinta yang keluar dari pena nya. Entah sejak kapan ia suka menulis, mengekspresikan banyak kegundahan di sana. Yang pasti itu membuatnya sedikit lega, bisa menceritakan banyak hal dengan coretan tinta yang ia goreskan dalam tiap lembar buku yang bersedia menampung semua keluh kesahnya.

Waktu sudah menunjukkan pukul tengah malam. Namun Al masih duduk anteng di kursi meja belajarnya. Matanya mengarah pada buntalan yang sudah berbaring rapi di kasur miliknya.

Kara, pemuda itu nampaknya sudah sangat terlelap menyusuri alam mimpinya. Lihat saja, mulut menganga yang terbuka lebar, membuat serangga ingin memasuki nya. Al tersenyum samar melihat itu, senang rasanya bisa melihat orang tertidur pulas dalam tidurnya. Berfikir sejenak, agaknya kapan ia bisa terlelap sepulas itu.

Mengalihkan perhatian, ia kembali pada awal kegiatannya. Mulai membuka laptopnya dan mengetikan sesuatu disana.

“Gw harap, dengan begini semuanya benar-benar berakhir. Dan gw bisa hidup tenang tanpa mereka semua. Tuhan, tolong restui keinginan gw. Gw gak minta banyak, gw Cuma pengen tenang” gumamnya lirih.

Setelah selesai dengan urusannya, Al menutup laptopnya dan melangkahkan kakinya menuju arah balkon apartemen miliknya. Tak lupa, ia juga menutup pintu balkon agar udara dingin tidak masuk dan mengganggu seekor kelinci yang tengah tertidur pulas.

Kemudian mata hitam pekat itu memandang langit, lebih tepatnya bintang yang terlihat begitu terang malam hari ini.

Manik mata yang penuh kekosongan itu terus menatap bintang tersebut hingga sang mulut ikut menyuarakan suaranya. Mewakili sang hati dan fikiran yang telah lama berdebat ingin di sidangkan.

“Bunda kalo suatu saat Al kalah, Bunda mau kan dateng ke mimpi Al. Bilang sama Al, kalo selama ini Al udah berusaha”

“Bunda, mau kan dateng ke mimpi Al. Satu kali pun gak papa. Al kangen Bunda, Al di sini sendirian. Tangan Al udah gak nyampe buat gapai Ayah sama Abang”

“Al capek Bunda” liriknya di akhir. Mata itu memancarkan bagaimana perasaannya yang sekarang. Kacau, itulah satu kata yang bisa di deskripsikan.

Pikiran nya kembali mengingat kejadian di UKS tadi pagi. Dimana Vano memperlakukan nya seolah dia peduli dengannya. Tangannya terkepal kuat, giginya bergemelatuk menahan gejolak emosi yang kini mulai menguasai dirinya.

Sungguh, ia benci dimana perasaan ingin di sayang kembali pada dirinya. Perasaan berharap akan kasih sayang Ayah dan kedua abangnya selalu mengganggu dirinya di saat seperti ini.

Ia muak, muak dengan perasaannya sendiri. Tanpa pikir panjang, kaki jenjang itu mulai kembali masuk ke dalam kamarnya dan langsung menyambar kunci motor dan jaket hitam miliknya.

Kemudian pergi dari sana meninggalkan Kara yang masih asik dalam alam mimpinya. Persertan, ia hanya ingin melampiaskan kemarahannya kali ini.

Sampainya di bawah, Al langsung menunggangi kuda besinya. Tanpa babibu ia langsung menancap gas dengan kecepatan di atas rata rata.

Tanah Tandus || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang