Empat

227K 18.1K 800
                                    

Cessa membuka matanya perlahan, namun segalanya tampak gelap. Tiba-tiba saja petir menyambar, tubuhnya menggigil ditusuk-tusuk hujan. Ia tidak sedang berada diatas tempat tidur, ia duduk di jok belakang sebuah motor, melaju dengan kecepatan diatas rata-rata, merobek keheningan malam. Dari arah berlawanan, sepasang lampu menyorotnya, begitu terang dan menyilaukan. Dalam sekejap terdengar suara besi menghantam, membunuhnya dalam sekali hentakan.

"Aaaargh..." Cessa berteriak keras, napasnya memburu, keringat dingin membasahi hampir seluruh tubuhnya. Cessa memegangi dadanya yang terasa ngilu.

Mimpi buruk itu lagi.

Setelah merasa lebih tenang, Cessa beranjak dari tempat tidurnya, hendak mengambil segelas air. Rumahnya tampak kosong, Kai pasti belum pulang. Cessa tidak merasa aneh. Walaupun tinggal hanya berdua dengan kakaknya, tapi ia lebih sering merasa sendiri.

Abangnya itu manager band yang sedang naik daun, seingat Cessa, dia hanya dua kali bertemu abangnya dalam sebulan ini.

Cessa mendengus, "Kapan lulusnya coba itu anak."

Kaisar Benjamin Utama. Abang Cessa satu-satunya, entah sudah berapa semester cuti kuliah, demi mengurus mimpi bersama teman-temannya. Umurnya sudah 21 tahun, tapi belum ada tampang-tampang calon sarjananya.

Cessa berjalan menuju tangga, hendak kembali ke kamar, namun tak sengaja matanya menangkap sebuah pigura yang terpajang di dinding. Senyumnya mengembang, tapi penuh kegetiran.

Setelah melihat foto itu sekilas, Cessa memutuskan untuk benar-benar masuk kedalam kamarnya. Ia menyalakan televisi, lalu meringkuk dibalik selimutnya.

Cessa memang tidak berniat menonton, ia hanya butuh suara untuk membunuh keheningan, menghilangkan sesak, melenyapkan kepekatan.

***

Jam sudah menunjukan jam enam lebih lima belas menit, tapi Cessa masih sembunyi dibalik selimutnya, malas ke sekolah. Chika menggerak-gerakan tubuh Cessa, berusaha membujuk, agar cewek itu mau bangun dan segera mandi.

Tapi percuma saja sampai jam menunjukan jam setengah tujuh, Cessa masih tidak bergerak sesentipun dari posisinya.

Chika menghela napas, ia tau kejadian Bayu kemarin mungkin seperti pukulan telak untuk Cessa, makanya dia menyempatkan diri menjemput Cessa.

Yang Chika lupa adalah, membuat Cessa bergerak ke sekolah disaat seperti ini, sama saja dengan memeluk gunung, mustahil.

Akhirnya Chika menyerah, ia ikut berbaring disebelah Cessa, percuma juga mau berangkat jam segini, keburu telat. Mending cabut sekalian dari pada mukanya ditandain sama bu May.

"Cess?"

"Hmmm..." Cessa masih menyahut dengan gumaman satu suku kata, seperti yang sudah-sudah.

"Jalan aja yuk?" kalimat Chika kali ini berhasil menarik perhatian Cessa.

"Kemana?" Chika tidak menjawabnya dengan kata-kata, hanya mata cewek itu berkilat-kilat nakal.

***

Sementara itu, atmosfer kehebohan masih tersisa di SMA Taruna. Dikelas Cessa, teman-teman Cessa sampai jengkel, karena orang bolak-balik ke kelas mencari Cessa. Tika yang duduknya paling dekat pintu sampai kesal sendiri, soalnya dia yang paling sering ditanyain "Cessa kemana?"

Awalnya, dijawabnya dengan lembut pertanyaan yang terlontar, baik dari bibir senior atau diteman seangkatan mereka, tapi akhirnya Tika kesal sendiri. Walaupun cuma jawab "Nggak masuk." kalo ditanyanya berkali-kali kan dongkol juga ya, bukan apa-apa nggak cuma mereka yang penasaran, Tika kan juga penasaran gimana cerita versi Cessa.

Are You? Really?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang