Tiga Puluh

140K 13.8K 238
                                    

Sebulan berlalu sejak kejadian di UKS dan selama sebulan itu yang Elang lakukan adalah berusaha membunuh Cessa dari hatinya.
Segala usaha ia lakukan, pelarian paling tepat adalah belajar semalam suntuk, mengerjakan seluruh butir pertanyaan di bank soal, atau memperhatikan baik-baik guru yang mengajar.

Apapun ia lakukan, agar tidak ada celah tersisa untuk mengingat gadis itu.

Guru-guru tentu menyambut perubahan Elang dengan senang hati, tapi berbeda dengan Edo dan Bimo. Elang yang mendapat nilai delapan puluh sembilan di try out Bahasa Indonesia, atau Elang yang mendapat nilai seratus di ulangan harian Biologi, tentu bukan Elang banget.

Di tambah lagi, selama sebulan ini, Elang sama sekali tidak keluar kelas di jam istirahat, dan langsung pulang saat bel berbunyi. Hal itu justru membuat keduanya yakin, bahwa Elang tidak baik-baik saja.

Elang berusaha sebisa mungkin menghindari pertemuannya dengan Cessa. Itu yang mereka berdua pahami. Tapi takdir Tuhan tetaplah takdir. Ada saat-saat tertentu, dimana keduanya saling berpapasan, lalu saling mengabaikan.

Elang sendiri tidak habis pikir, kenapa kebetulan selalu terjadi saat dua orang ingin saling melupakan.

Soal Cessa, gadis itu tampak baik-baik saja, walaupun setiap mereka bertemu, diam-diam Elang mengira-ngira berapa berat badan Cessa yang turun kali ini, berapa lama gadis itu tidur tadi malam, dan apakah gadis itu sudah makan pagi ini.

Cessa berubah hampir seratus delapan puluh derajat, sinar mata gadis itu kini semakin meredup layu, kantung matanya semakin hitam setiap harinya, dan tidak jarang Cessa tidak mengikuti pelajaran demi beristirahat di UKS.

Elang menghela napas ketika kembali menemukan Cessa dalam lautan manusia yang di muntahkan oleh kelas. Gadis itu berjalan sambil menunduk menyusuri lobby, rambutnya yang tidak pernah lagi dikuncir, menutupi hampir seluruh bagian wajahnya.

Ada sesuatu dalam diri Elang yang bergemuruh, membuka kembali luka yang sama sekali belum mengering.  Ia ingin berlari dan memeluk gadis itu, mengikat rambutnya, lalu menyeretnya menuju motor, dan sisa harinya akan mereka habiskan untuk bertengkar.

Tapi ia sudah berjanji untuk melepaskan Cessa, sesulit apapun caranya. Elang mengusap wajahnya lelah. 

"Yuk, kak Elang." Sebuah suara menginterupsi Elang dari lamunannya, Dita sudah tersenyum manis di sampingnya.

"Yuk, Dit." Elang membalas senyuman Dita, namun terpaku ketika tanpa sengaja matanya bertabrakan dengan mata Cessa, Cessa langsung mengalihkan pandangannya, membuat Elang menghela napasnya sekali lagi, berusaha menghilangkan sesak.

Setelah Cessa sudah tidak terlihat, Elang dan Dita pun melesat meninggalkan lapangan parkir. Namun, ketika menemukan mobil Edo di pertigaan, Elang menghentikan motornya tapat di depan mobil Edo, membuat Dita mengernyitkan dahi.

"Dit, sorry ya, hari ini gue nggak bisa nganter lo, lo balik sama Edo aja gimana?" Dita menatap Elang bingung, tapi tak pelak ia mengangguk juga.

Elang turun dari motornya, lalu menghampiri pintu samping kemudi, Dita tidak dapat mendengar apa yang mereka bicarakan, samar-samar Elang mengangguk, lalu kembali ke motornya.

"Yuk, Dit." Dita ikut turun dan menghampiri mobil Edo, Elang membukakan pintu lalu mendorong bahunya lembut. Dita tidak sempat mengatakan apapun, karena cowok itu langsung melesat dengan motor hitamnya.

Setelah Elang sudah tidak terlihat, Edo baru melajukan mobilnya, hening menyelimuti keduanya, membuat Dita merasa jengah. Dulu, tidak ada hening seperti ini diantara mereka, dulu ia menyukai keberadaan Edo di dekatnya, tapi kenapa rasanya sekarang justru memuakan.
Dita ingin membiarkan keheningan itu berlanjut, tapi Edo terlanjur membuka suaranya.

Are You? Really?Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu