Empat Puluh

265K 18.4K 3.5K
                                    

Cessa duduk di hadapan sebuah pusara, merapalkan doa yang telah jutaan kali ia ucap. Delapan tahun telah berlalu, sejak laki-laki yang namanya tertera di batu nisan ini memberikan matanya pada Cessa. Laki-laki yang telah mengembalikan terangnya cahaya dari dunianya yang gelap, laki-laki yang memberikan Cessa kesempatan yang lebih besar untuk melihat betapa luasnya dunia, laki-laki yang telah memberi Cessa kesempatan untuk melihat wajah orang-orang yang ia cintai lebih lama.

Selesai berdoa, Cessa membuka matanya dan yang pertama kali ia saksikan adalah gundukan tanah yang telah menghijau ditumbuhi rumput. Cessa menaburkan bunganya, lalu mengusap batu nisan di hadapannya.

Setelah melaksanakan ritualnya, ia berdiri. Namun, gerakannya terhenti ketika mendapati seseorang berdiri di hadapannya, hanya terpisah oleh jarak yang tercipta berkat makam di depannya.

"Ternyata lo beneran ada di sini?" Sesaat Cessa terpaku mendengar suara itu, seluruh sarafnya menyuruhnya untuk berhambur ke laki-laki yang kini sedang memamerkan lesung pipinya.

Cessa memejamkan matanya, lalu menghembuskannya keras-keras, sejurus kemudian ia berbalik hendak meninggalkan laki-laki itu.

"Heh, mau kemana?" melihat Cessa yang kini sudah mulai melangkah, laki-laki itu pun berjalan cepat memutari makam. Tidak terlalu sulit baginya untuk menyamai langkah Cessa, karena selebar apapun langkah yang gadis itu ambil, tidak mampu menyaingi besar langkahnya.

"Lo nggak kangen sama gue?"

"..."

"Cess, masa nggak kangen sih?"

"..."

"Cessa, katanya lo pengen gue jadi orang pertama yang lo lihat setelah dapet donor?" kalimat Elang akhirnya mampu membuat langkah Cessa terhenti seketika, sadar telah berhasil memenangkan hati Cessa, Elang melebarkan senyumnya.

"Kalo lo mau marah, boleh kok, tapi jangan didiemin guenya, gue kangen tau." Cessa menatap Elang dengan tatapan menghunus, sedetik kemudian, sebuah tamparan keras menghampiri pipi Elang, membuat cowok itu meringis kesakitan.

"Brengsek! Kemana aja lo selama ini? Lo pikir delapan tahun menghilang nggak ada kabar lo masih boleh manggil gue? Lo pikir setelah lo mutusin gue hari itu, lo masih boleh muncul sekarang? Lo pikir-" Cessa hendak meneruskan makiannya, namun ia tidak lagi sanggup, karena kini setiap kalimat yang keluar dari bibirnya diikuti oleh isakan.

Elang menghela napas kecil, melihat Cessa yang mulai memukulinya. Sedetik kemudian ditariknya Cessa ke dalam rengkuhan. Setetes air mata, ikut turun dari sudut matanya, mewakili segala kerinduan dan kelegaan yang menghampiri disaat yang bersamaan.

Elang membenamkan wajahnya, di atas kepala Cessa, menghirup wangi tubuh gadis itu yang masih belum berubah. Delapan tahun pergi, rasanya nyaris gila setiap kali merindukan gadis ini dan kini Cessa telah berada dalam pelukannya, tidak lagi ingin ia lepaskan.

"Lo... kurang ajar..." Elang terkekeh mendengar makian disela isakan Cessa, dilepaskannya pelukan, lalu diangkatnya dagu Cessa, membuat Cessa mengalihkan pandangannya ketika mata mereka bertemu.

Elang menakup wajah Cessa di antara kedua telapak tangannya, membuat gadis itu mau tak mau menatapnya. Lagi-lagi, yang Elang lakukan adalah menatap mata cokelat Cessa penuh kerinduan.

"Marahnya nanti dulu ya, penjelasannya juga nanti, gue kangen sama bokap." Mendengar kalimat Elang, Cessa refleks mengangguk. Diturutinya tangan Elang yang menggandengnya menuju makam Rudi.

***

"Nih, mau nggak?" Elang menempelkan sekaleng minuman ke pipi Cessa, membuat Cessa mendelik tajam ke arahnya. Tapi Elang tidak ingin protes, ia tau, Cessa yang marah adalah tanda bahwa gadis itu masih menunggunya.

Are You? Really?Where stories live. Discover now