Tiga Puluh Tiga

135K 14.9K 479
                                    

Elang membuka matanya perlahan, alih-alih langit biru yang ia lihat adalah langit-langit kamarnya. Elang menoleh, lalu mendapati mommynya yang tertidur tepat di sebelahnya, nanar ditatapnya wanita yang kini telah terlelap.

Elang tidak tau bagaimana ia bisa berada di sini sekarang, ingatan terakhirnya adalah Cessa yang memeluknya di samping makam sang ibu. Mengingat kini ibu kandungnya sudah terlalu jauh darinya, membuat dada Elang kembali sesak.

Ia meringkuk memeluk wanita di sampingnya.

"Loh, sweetheart, kamu udah bangun?" Karina menghela napas lega ketika Elang kembali mengeratkan pelukannya. Elang yang seperti ini mengingatkan Karina akan jagoan kecilnya dulu, sudah lama sejak Elang tidak bersandar padanya, namun kali ini putranya terlihat terlalu kelelahan, entah karena terlalu jauh berlari atau terlalu lama bertahan.

"Mommy..." Elang dapat mendengar suara serak keluar dari tenggorokannya, tapi sungguh, ia tidak ingin melepaskan mommynya walau hanya sedetik.

"Kenapa sayang?" dengan lembut Karina mengusap punggung Elang, berharap perlakuan itu akan sedikit mengurangi beban pada pundak Elang, walau Karina tidak tau, seberat apa beban itu.

"Elang sayang mommy." Suara Elang bergetar karena tangis yang tertahan. Sejujurnya, ia sudah mulai kelelahan menangis, namun sepertinya sudah tidak ada yang lagi yang mampu dilakukannya, selain menangis dan berlindung pada wanita di pelukannya.

Ibu kandungnya kini sudah berada di dimensi tak tersentuh, ayahnya sudah lama menjadi orang lain, dan Cessa telah ikut memunggunginya. Jika bukan dalam dekapan mommynya Elang tidak tau dimana ia harus beristirahat.

Rasa bersalah menyelinap dalam hati Elang, kala teringat asal-usul kelahirannya. Jika saja, jika saja mommynya mengetahui segalanya, jika mommynya ikut berjalan meninggalkannya, maka dapat Elang pastikan, dirinya akan hancur, sehancur-hancurnya.

***

Cessa tersenyum sopan kepada pria paruh baya yang terbaring di hadapannya. Tadi, ketika mengantar Elang ke rumah, Karina menceritakan tentang keadaan Rudi. Cessa sendiri dapat mengerti, mungkin Rudi merasakan kepedihan yang sama seperti Elang, kepedihan yang pekat akan rasa bersalah.

Cessa sendiri bingung bagaimana menjawab pertanyaan Karina mengenai keadaan Elang tadi, jadi ia hanya menjawab sekenanya. Tentang Elang yang sepertinya sedang sakit. Karena tidak mungkin bagi Cessa untuk menceritakan alasan sebenarnya.

"Bagaimana keadaan Om?" tanya Cessa sambil meletakan sekeranjang buah, Rudi tersenyum lemah lalu menuding kursi di sampingnya, menyuruh Cessa duduk.

"Om, seperti yang kamu lihat. Mommynya Elang akhirnya tau tentang penyakit om," ujar Rudi penuh kelelahan.

"Seberapa parah sebenarnya, om?" Cessa menggigit bibir bawahnya, mengingat pertemuannya tadi dengan Karina. Pantas saja mata mommy Elang tadi sembab.

"Seberapa parah, itu tidak penting, toh om memang sudah tua." Rudi menatap langit-langit kamar rumah sakit yang polos tanpa warna, ia menghela napas, lalu membiarkan sebulir air matanya kembali jatuh.

"Bagaimana keadaan Elang, Cessa?" tanya Rudi dengan suara sumbang, mendengar pertanyaan pria di hadapannya, tenggorokan Cessa tercekat, ia tidak berani mengatakan bahwa Elang pingsan di pemakaman tadi, bahwa Elang menangis sejadi-jadinya, bahwa Elang dalam kondisi terburuk.

"Kamu tidak menjawab, berarti dia kacau ya?" Rudi menjawab pertanyaannya sendiri, yang hanya dijawab Cessa dengan anggukan lemah.

Are You? Really?Where stories live. Discover now