Dua Puluh Tujuh

152K 14.7K 713
                                    

Sekali lagi Elang melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, wajahnya semakin gelisah, karena waktu berjalan terlalu lambat.

Bimo dan Edo cuma bisa saling tatap lalu mengedikan bahu, Elang sudah bertingkah aneh sejak pagi tadi, Bimo dan Edo juga tidak perlu bertanya dua kali untuk tau penyebabnya.

Cessa menghilang, bukan secara harfiah.

Pagi tadi, Elang masuk ke kelas hampir satu jam setelah pelajaran dimulai, menurut informasi yang berhasil Edo dan Bimo korek, temannya itu menunggu Cessa selama satu setengah jam, namun ternyata cewek itu sudah berangkat sebelum Elang menjemputnya, belum lagi panggilan, sms dan chat dari Elang yang Cessa abaikan sejak kemarin siang.

Yang lebih menjengkelkan lagi, dua kali istirahat, Elang gunakan untuk mengubek-ubek kantin dan kelas Cessa, tapi tidak ditemukannya juga gadis itu.

Tepat lima belas menit sebelum bel pulang berbunyi, Elang bangkit dari kursinya, membuat Edo dan Bimo ikut mengangkat kepala. Melalui tatapan mata, keduanya bertanya, "Mau kemana?"

"Pinjem mobil lo dong," Elang mengeluarkan kunci motornya untuk menukarnya dengan kunci mobil milik Edo, lalu dengan cekatan dilemparnya tas melalui jendela, sebelum beranjak keluar kelas.

"Mau kemana kamu Erlangga?" Bu Tari, guru yang sedang mengajar mengernyitkan dahinya ketika melihat Elang berdiri di ambang pintu.

"Duh bu, saya sakit perut, mau ke kamar mandi." Bu Tari meneliti Elang tidak yakin, namun untuk meyakinkan gurunya, Elang sampai berjongkok, membuat seluruh kelas tersenyum sumir.

Cuma orang buta yang tidak bisa melihat bahwa Elang sedang berakting, tapi ternyata gurunya juga termasuk segelintir orang tersebut. Begitu Bu Tari mengangguk, Elang langsung berlari dengan kecepatan kilat, membuat teman-temannya semakin yakin, gurunya baru saja masuk jebakan.

"Padahal abis ini PM Biologi, eh tuh anak malah madol, udah bego, badung lagi. Temen lo tuh Bim," ujar Edo sambil melirik kursi Elang yang sekarang kosong, Bimo terkekeh pelan.

"Badungnya temen gue, begonya temen lo aja deh, Do."

***

Cessa terkesiap ketika menemukan Elang di depan pintu kelasnya. Padahal ia sudah bergerak secepat mungkin agar bisa keluar dari sekolahan sebelum Elang menemukannya, namun entah bagaimana caranya Elang bisa berada di depan kelasnya, padahal belum tiga puluh detik sebelum bel pulang berhenti berbunyi.

"Lo ikut gue!" perintah Elang langsung menarik tangan Cessa, tidak perduli dengan tatapan teman-teman Cessa, dan guru yang masih berada di balik meja.

"Kak Elang lepasin gue!" Cessa memberontak, berusaha melepaskan tangan Elang, namun pegangan Elang terlalu erat, bahkan sampai menyakiti pergelangan tangan Cessa.

"Lo harus punya penjelasan, kemana aja lo dari kemaren!"

"Penjelasan apaan sih? Lepasin gue nggak!" teriak Cessa, tapi tangannya masih tetap menuruti kemana Elang menyeretnya.

"Kalo gitu kenapa semua telfon gue nggak diangkat? Kemana juga lo tadi pagi?! Kenapa berangkat sendiri tanpa ngabarin gue?!" walaupun mengatakannya sambil berjalan, namun nada suara Elang terdengar menahan geram.

"Karena kita memang udah putus!" teriakan Cessa membuat Elang menghentikan langkahnya, tanpa sadar cekalannya merenggang, memudahkan Cessa untuk membebaskan tangan.

"Maksud lo apa?" Elang berdesis, matanya memicing menatap Cessa tidak percaya. Ia tidak ingat kapan mereka memutuskan untuk berpisah, kalimat Cessa barusan terdengar tidak masuk akal.

Are You? Really?Where stories live. Discover now