Tiga Puluh Dua

130K 14.4K 346
                                    

Pemakaman itu tampak sepi, yang tersisa hanya tiga pemuda dan seorang gadis yang berdiri di hadapan tanah yang masih basah. Elang duduk di samping gundukan tanah tersebut, tempat di mana ibunya baru saja bersemayam, beristirahat dipeluk bumi.

Edo, Bimo dan Dita tidak dapat mengatakan apapun, Dita syok ketika Elang menghubunginya tadi malam, mengatakan bahwa wanita yang dulu sering mengobrol dengannya kini telah berada di dimensi yang berbeda.
Sedangkan Edo dan Bimo belum mampu mencerna segalanya. Mereka sama-sama terkejut, mendengar ibu Elang meninggal, awalnya mereka kira wanita yang Elang maskud adalah mommynya yang selama ini mereka kenal, namun tidak, Dita telah menjelaskan segalanya di mobil tadi.

Kehancuran Elang baru saja mereka saksikan kali ini, perasaan bersalah menghantui keduanya, karena tidak dapat berdiri di samping Elang selama ini, membiarkan cowok itu menahan segala bebannya sendirian.

Elang kali ini, seperti benar-benar tidak berdaya. Meskipun air mata itu tidak luruh di hadapan keduanya, namun Edo dan Bimo tau bahwa semalaman pergulatan batin itu terjadi di sana, bahwa semalaman air mata itu menderas hingga mungkin tidak mampu lagi mengalir.

Dan melihat Elang yang rapuh seperti ini, menggores-gores hati keduanya, sejujurnya mereka merasakan kesakitan yang sama, tercekat kala melihat sahabatnya berperang melawan sesak.

"Kalian balik aja duluan." Suara Elang menginterupsi ketiganya. Bimo dan Edo saling pandang lalu mengangguk patuh, Dita pun melakukan hal yang sama. Setelah memberi tepukan ringan, dengan harapan itu akan sedikit memberi kekuatan, ketiganya melangkah meninggalkan Elang.

Tepat ketika Edo, Bimo dan Dita menghilang dari pandangan, Elang tersaruk ke tanah, memeluk nisan mamanya erat-erat, seolah hal itu mampu mengembalikan jiwa yang telah pergi. Tangisnya kembali meledak, bahkan isakannya makin menggila.

Di belakang sebuah pohon kemboja, seorang gadis membekap mulutnya rapat-rapat berusaha meredam suara tangis yang keluar dari bibirnya. Dadanya sesak sejak semalam, setelah papanya menghubunginya, mengabarkan tentang kepergian ibu kandung Elang.

Papa dan mamanya bahkan ikut datang ke pemakaman, namun Cessa tidak bisa, sejak tadi yang ia lakukan hanya berdiri beberapa meter dari Elang, menjaga jarak. Tapi dari jarak sejauh ini pun ia dapat menyaksikan bagaimana terlukanya Elang. Elang hancur berkeping-keping, berserakan tidak tersisa, melebur sampai tidak berbentuk.

Cessa bersandar pada batang pohon yang menutupi tubuhnya, menutup matanya rapat-rapat. Hatinya retak setiap kali menyaksikan Elang yang terisak.
Setelah beberapa menit berlalu, Cessa berusaha menelan tangisnya, berniat untuk beranjak pergi dari sana.

Namun ketika ia berbalik, yang Cessa dapati adalah Elang yang sedang menatap kearahnya nanar. Dalam jarak yang hanya sedepa, tatapan itu mengatakan banyak hal yang tidak akan mampu bibir uraikan. Elang melangkahkan kakinya mendekat, membuat Cessa semakin mematung di tempatnya.

"Lo bilang, gue selalu punya lo, kalau gue ingin bertahan atau lari, sekarang gue mau lari, bisa lo bantu gue?" suara Elang terdengar serak dan bergetar, sarat akan kelelahan yang membelenggu, setetes demi setetes air mata kembali jatuh dari mata Cessa, menyadari betapa hancur laki-laki di hadapannya.

Cessa ingin pergi dan mengabaikan Elang, namun seluruh saraf mengkhianati otaknya. Dengan gerakan selembut angin, Cessa melingkarkan kedua lengannya di leher Elang, sedikit berjinjit agar mampu letakan dagunya di bahu cowok itu.

Dan saat itulah... Elang kembali luruh.

***

Rudi terbaring di tempat tidur rumah sakit, orang kepercayaannya baru saja menyampaikan kronologis meninggalnya Saras. Kini wanita itu telah pergi ke tempat terjauh, tak lagi dapat ia temui.

Matanya menatap langit-langit kamar rumah sakit yang berwarna putih. Rasa bersalah yang pekat menghantuinya kala mengingat permohonan Saras tiga tahun silam.

"Tolong aku mas, aku cuma mau bertemu anakku." Saras menangkup kedua tangannya, nyaris berlutut.

"Kalau kamu bertemu Elang, kamu pikir bagaimana perasaan dia? Kamu pikir bagaimana perasaan Karina? Sampai sekarang Karina belum tau Saras, kalau kita mengkhianatinya, kalau Elang adalah anak kita." Rudi menatap wanita di hadapannya enggan, bertahun-tahun menghilang, Saras muncul dengan permohonan paling tidak masuk akal.

"Tolong mas, saya hanya ingin merasakan rasanya memeluk anak saya sendiri, saya ingin menciumnya, dan saya ingin merasakan solat dengan dia sebagai imam saya." Mendengar permohonan terakhir Saras, Rudi terdiam.

Rudi menghela napas panjang, matanya kembali berkabut mengingat wanita itu.

"Keinginan kamu akhirnya terkabul, Saras."

-----

A/n: Huaaaa maafkeun part ini dikit ya? Wkwk emang cuma 500 kata sih :( gimana menurut kalian? Btw yang minta Elang dan Cessa ketemu lagi, tuh aku tepatin yaaa wkwk Udh part 32, 8 part lagi akan selesai :') terima kasih yang mau baca sejauh ini, aku syg kalian mwa, semoga kalian sabar menunggu Elang, semoga sejauh ini kalian dapet feelnya, semoga cerita ini melekat diingatan kalian 💕

Lost of Love,

Naya❤

Are You? Really?Where stories live. Discover now