Dua Puluh Satu

162K 16.7K 270
                                    

Cessa mengikuti cowok tadi, mengintip lewat celah sempit yang tercipta antara kusen dengan pintu.

Dari celah sempit tersebut, Cessa tidak dapat melihat seluruh isi ruangan, ia hanya melihat seorang laki-laki paruh baya berdiri disalah satu sisi, walaupun tidak tampak wajahnya, Cessa dapat mendengar gelegar suara Elang.

Siapa laki-laki itu?

"Saya sudah bilang, ibu saya adalah urusan saya, anda tidak perlu datang, dan jangan pernah menemui ibu saya lagi," Elang tidak berteriak. Namun suaranya tajam dan menusuk.

"Ibu? Mommy kenapa?" Cessa membatin bingung.

"Erlangga, papa kamu-" suara laki-laki itu terdengar menyebut nama Elang, namun langsung dipotong oleh Elang.

"Saya tidak punya papa," nada suara Elang datar tanpa ekspresi.

Sebegitu bencinya kah Elang, kepada papanya?

"Anda bisa pergi sekarang, dan saya harap anda tidak pernah mengganggu kami lagi." Suara Elang terdengar lagi, membuat Cessa menegakan tubuhnya, ia ingin pergi, namun entah kenapa, kaki Cessa menghianati otaknya.

Tidak lama, pintu terbuka, dibaliknya laki-laki paruh baya tadi berdiri, laki-laki itu menatap Cessa bingung, lalu menoleh pada Elang. Tepat ketika laki-laki itu memiringkan tubuhnya, Cessa dapat melihat seorang wanita, duduk diranjang, menghadap ke dinding, sedangkan Elang berdiri dibelakang punggung wanita itu, mematung menyadari siapa yang berdiri diambang pintu.

***

Elang dan Cessa duduk dibangku taman rumah sakit, Elang mengusap wajahnya frustrasi. Akhirnya, ada mengetahui keberadaan ibunya, dan lagi-lagi Cessalah orangnya.

"Udah bisa nyimpulin apa aja?" tanya Elang sambil menatap lurus kearah kolam.

Sejujurnya, Cessa belum dapat menyimpulkan banyak hal, kecuali, wanita tadi adalah penyebab utama retaknya hubungan Elang dengan papanya, dan ada kemungkinan bahwa perempuan tadi adalah wanita yang Elang sebut sebagai Ibu, di pembicaraan cowok itu dengan pria paruh baya tadi.

"Lo udah tau terlalu banyak, sadar nggak?" tanya Elang santai, sama sekali tidak terdengar marah. Cessa lagi-lagi hanya diam, tidak menyahut.

"Tiga tahun yang lalu, wanita tadi datang ke sekolah gue, beliau mengatakan hal yang nggak masuk akal, bahwa gue adalah anaknya, karena takut, gue tentu aja nggak mau menemui wanita itu lagi, gue selalu menghindar, walaupun gue tau, beliau selalu nungguin gue tiap pulang sekolah," Elang menggambil napas sejenak, lalu melanjutkan.

"Tapi suatu hari, gue nggak sengaja dengar percakapan bokap dan om Satya--laki-laki yang tadi lo lihat--perempuan yang tadi, bener nyokap gue, dan alasan dia berada disini, karena bokap gue," Cessa menahan diri untuk tidak membekap mulutnya, penuturan Elang barusan, tidak pernah Cessa bayangkan, bahkan dalam mimpi sekalipun. Kenyataan barusan, menghentak Cessa ke dalam kesadaran.

Kalau begitu, bagaimana dengan mommy?

Seolah dapat membaca pikiran Cessa, Elang kembali melanjutkan penuturannya.

"Gue memang anak angkat, mommy nggak bisa hamil, bokap nyokap gue mengadopsi gue sejak gue masih bayi, tapi yang mommy nggak tau adalah-" Elang menghela napas sebentar, menggantungkan kalimatnya diudara, "-gue adalah anak kandung bokap, anak haram hasil hubungan gelap bokap dengan sahabat mommy, dan alasan gue ada di panti asuhan itu juga, karena bokap ngambil gue dari ibu gue," Cessa tidak bisa menahan dirinya sendiri, ia benar-benar kehabisan kata-kata. Kalimat yang keluar dari bibir Elang adalah, kalimat selirih angin, penuh kelelahan, luka dan sarat akan kesepian.

Are You? Really?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang