Tiga Puluh Delapan

161K 15K 1.3K
                                    

Elang membuka hasil medical check-up yang baru saja ia terima. Hanya cek kesehatan biasa, untuk memastikan bahwa tubuhnya memang baik-baik saja. Elang tersenyum ketika melihat seluruh organ tubuhnya dalam keadaan baik-baik saja, tidak sia-sia selama ini ia menjaga tubuhnya.

Sejak permintaan izinnya malam itu, Karina masih belum mau berbicara lagi dengan Elang. Jadi perminta maafnya nanti, akan ia sampaikan lewat sebuah surat. Selain mommynya, belum ada yang mengetahui tentang rencana Elang kecuali Satya, karena memang beliau yang akan mengurus segala keperluan Elang, termasuk surat wasiatnya tentang keinginannya untuk mendonorkan mata dan jantungnya. Soal caranya mati nanti, Elang telah memikirkannya baik-baik.

Mungkin agak mengerikan membayangkan beginilah akhir dari hidupnya, mati dengan cara paling terkutuk di dunia; bunuh diri. Tapi ia tidak memiliki pilihan, satu-satunya cara agar orang-orang yang dicintainya dapat tetap bahagia adalah kematian itu sendiri.

Elang menatap tabung pil yang terletak di tangannya, susah payah ia dapatkan pil ini dari para pernjual oragan tubuh illegal, hanya untuk memastikan ia meninggal tanpa orang ketahui penyebab kematiannya dan organ yang hendak ia sumbangkan akan tetap dapat berfungsi dengan baik.

Elang memasukan kembali hasil test beserta pil tadi ke dalam tasnya, lalu menyampirkannya di bahu. Ada satu hal lagi yang ingin ia lakukan, mengucapkan selamat tinggal kepada beberapa orang.

Elang membuka handphonenya, lalu menekan-nekan layar ponselnya. Tidak lama, suara Edo terdengar di kejauhan.

"Dimana lo, bro?" tanya Elang tanpa menjawab sapaan dari Edo. Edo menyebutkan tempat keberadaannya, membuat Elang mengangguk-angguk.

"Yaudah, lo sekarang siap-siap, setengah jam lagi ketemu di lapangan deket rumah Bimo ya, ajak Bimo sekalian." Elang mematikan ponselnya tanpa menunggu jawaban dari Edo. Elang tidak berniat memberi tahu kedua sahabatnya, hanya berniat mengobrol untuk yang terakhir kali.

Senyum getir tercetak pada bibir Elang.

Perpisahan mungkin sejatinya memang menyakiti, tapi setidaknya, Elang ingin memberikan salam perpisahan yang dapat melekat diingatan kedua sahabatnya.

***

Lapangan yang Elang maksud berada dekat rumah Bimo adalah lapangan tanah, milik kavling belakang komplek perumahan Bimo. Pada sore hari, biasanya anak laki-laki berusia sembilan sampai lima belas tahun, bermain bola di sana.

Dulu mereka sering ikut main kesini, tapi perlahan kebiasaan itu memudar. Jujur saja, waktu pertama kali Elang ikut bermain kesini, dia sampai keranjingan main hampir setiap hari. Maklum saja, berada di lingkungan perumahan yang anti-sosial dan di sekolahan yang isinya anak mami semua, membuat Elang belum pernah merasakan asyiknya main bola di lapangan tanah merah, sampai adzan maghrib berkumandang.

"Bro, gue udahan dulu ya!" Elang melambaikan tangannya kepada anak-anak yang masih sibuk menggiring bola di tengah lapangan.

"Gue ikutan udahan deh," ujar Edo mengikuti Elang.

Dodot, salah satu pemain tertua yang umurnya baru empat belas tahun, menatap Elang dan Edo tak rela.

"Yah kok udahan sih lo? Nggak asik lo bang!" seru Dodot kesal.

"Dot, gue juga udahan ah, mager gue maen ama bocah kayak lo, lo mah... cemen." Bimo memutar ibu jarinya ke bawah untuk menggoda Dodot.

"Sialan lo! Gini-gini gue udah dua kali ngebobolin gawang lo ya bang!" Dodot menggerutu sambil memindai seluruh sisi lapangan.

"'Eh Ucup! Sini lo, cariin dua orang lagi, terus lo juga abis itu kesini, ikutan maen! Nggak mau tau!" mendengar nada perintah dalam suara Dodot, Ucup mengangguk.

Are You? Really?Where stories live. Discover now