Dua Puluh Delapan

157K 13.4K 1.3K
                                    

Elang menendang kembali bolanya, hingga bola itu menembus gawang tanpa penjaga. Sudah empat jam Elang berada di lapangan futsal sewaan, berusaha menebus segala kegelisahan, dengan melampiaskannya pada bola dan gawang yang berada di pinggir lapangan.

Bimo dan Edo saling tatap, berusaha berkomunikasi melalui tatapan mata, dan keduanya setuju bahwa penyebab kacaunya Elang malam ini adalah Cessa.

Tadi, tiba-tiba saja Elang muncul, lalu mengajak kedua temannya untuk main futsal. Bimo menawarkan diri untuk mengajak teman mereka yang lain, namun usulannya ditolak Elang, jadilah hanya mereka bertiga yang main di satu lapangan.

Tidak jelas apa yang mereka mainkan, karena memang tidak ada futsal yang mainnya hanya beranggotakan tiga orang pemain, namun Elang melakukan segalanya sesuka hati. Tinggal Edo sebagai lawan Elang, yang harus sabar tiap kali Elang bermain kasar.

Edo melirik jam di tangannya, sudah hampir lima jam Elang menendang-nendang bola itu, walaupun tidak jelas apa tujuannya, selain memasukan bola ke dalam gawang tanpa penghuni.

Edo memberi kode pada Bimo berupa anggukan, yang langsung di mengerti oleh Bimo. Edo dan Bimo mendekat ke Elang, lalu meremas bahu temannya itu.

"Istirahat yuk bro," Elang ingin menolak, namun setelah melihat raut khawatir kedua temannya, Elang memutuskan untuk menurut. Mereka duduk bersisian menyender pada jaring-jaring lapangan, Elang menenggak minumannya, lalu menatap langit-langit lapangan.

Beberapa menit berlalu, tidak ada yang berbicara, sampai Elang yang memecah keheningan tersebut.

"Gue putus." hHnya dua kata, namun rasanya terlalu sulit untuk diucapkan, tenggorokannya tercekat, sesak itu kembali hadir. Meskipun Elang berusaha berlari dengan melelahkan diri, tapi ia tidak dapat membunuh luka itu.

Entah bagaimana, gadis yang baru ia kenal selama tiga bulan mampu memporak-porandakan hatinya, meremukannya hingga tak terbentuk. Tujuh belas tahun hidupnya, ia belum pernah merasakan sakit yang seperti ini hanya karena seorang gadis.

Elang menatap lampu di balik jaring, nanar, matanya berkabut, mulai tertutup dengan selaput tipis berwarna bening, sebelum selaput itu luruh melalui sebelah sudut matanya.

Dan pada akhirnya Cess, lo memenangkan segalanya dan menghancurkan segalanya.

***

Jauh dari tempat Elang berada, Cessa meringkuk di balik selimut tebal. Lampu kamarnya sudah padam sejak sore tadi, sedangkan sang pemilik hanya menatap lampu tabung dengan motif lubang berbentuk bintang dan bulan, Cessa memutar lampunya, dan yang terlihat adalah rasi bintang orion, memutarnya lagi, lalu tergambar rasi bintang scorpio dan ketika sekali lagi diputarnya, maka tampak symbol burung elang milik Aquila.

Altair, maaf.

***

Elang memacu motornya dengan kecepatan di atas rata-rata, berusaha mengusir bayangan Cessa dari kepalanya, tapi bukannya pergi bayangan itu justru semakin jelas mengudara dan berputar di dalam otaknya.

Tiba-tiba, tanpa ia sangka seseorang keluar dari belokan, membuat Elang terpaksa menginjak remnya kencang-kencang, dalam sepersekian detik, ban motor Elang berdeit sebelum akhirnya rebah di aspal.

"Bangsat!" Elang mengumpat ketika mendapati spion dan kaca lampunya hancur. Tapi bukan itu yang penting sekarang, Elang berusaha bangkit walaupun lengan kirinya berdenyut ngilu, dihampirinya seorang gadis yang terduduk di aspal, tadi bagian belakang motornya memang sempat menyenggol tubuh gadis itu.

Are You? Really?Where stories live. Discover now