Sebelas

181K 16.4K 257
                                    

Membawa Cessa kerumah, benar-benar kesalahan fatal! Terlalu fatal! Sekarang, Elang hampir setiap saat kewalahan menghadapi mommynya. Setiap kali, punya kesempatan ketemu muka Elang, mommynya pasti membahas Cessa.

Parahnya lagi, mommynya ternyata sudah membuat pengumuman kemana-mana, sanak saudara, teman arisan, sampe sekertaris kantor sudah tau kalau Elang punya pacar. Contohnya seperti malam ini, papanya baru saja pulang dari perjalanan bisnis, jadi mau tidak mau, Elang harus makan satu meja dengan laki-laki itu.

"Pokoknya pa, yang namanya Cessa itu... cantik banget deh, baik lagi, sopan." mommynya mengacungkan kedua jempolnya dengan berapi-api, membuat Elang mendengus.

"Cih, baik apanya! Mommy nggak tau aja itu anak lebih rela bikin orang bunuh diri daripada nurunin gengsi."

"Iya papa tau, kemarin mas Yudha aja udah nanyain Cessa siapa," mendengar jawaban papanya, Elang meneguk ludah. Ibunya benar-benar menyebarkan berita ini dengan baik rupanya, omnya yang sekarang menetap di Aussie saja sudah tau.

Elang tidak bisa membayangkan, bagaimana pertemuan keluarga besar mereka berikutnya. Elang bisa-bisa stress duluan jadi buronan pertanyaan om dan tantenya yang kelewat kepo.

"Mommy beneran bilang ke orang-orang?" Elang tau pertanyaannya itu benar-benar pertanyaan tidak berguna, tapi ia tanyakan juga. Mommynya mengangguk-angguk dengan semangat, membuat Elang mengerang.

"Mommy!!! Elang cuma pacaran bukan mau nikah! Astaga!" Elang membanting punggungnya ke sandaran kursi.

"Mommy juga cuma bilang kok, bukan nyebar undangan. Tapi beneran deh sweetheart, kalo kamu mau married sama Cessa setelah lulus SMA mommy setuju kok! Ya kan pa?" Elang melotot lebar-lebar mendengar mommynya berbicara soal pernikahan.

Mommynya bahkan mengatakan hal itu sambil mengunyah makanan, membuat Elang semakin merasa, bahwa dirinya sebentar lagi akan gila.

"Papa jadi penasaran gimana mukanya Cessa," kata papa Elang sambil menyuap makanan. Tentu saja mendengar kalimat suaminya, membuat mommy Elang langsung memberikan respon dengan semangat berlebihan.

"Kalau gitu kita ajak makan malam dirumah aja malam minggu! Gimana?" Elang tidak sempat bereaksi, ketika papanya menganggukan kepala.

"Boleh, papa nggak ada jadwal kok,"

"Oke! Kalau gitu mommy telfon Cessa sekarang." dengan gerakan secepat kilat, mommynya meneguk minuman lalu bangkit dari kursinya. Tadi apa? Telfon?

"Mommy dapet nomer Cessa darimana?" Elang berteriak setengah panik. Kalau mommynya sampai punya nomer Cessa, berarti benar-benar mimpi buruk baginya!

"Hehehe mommy minta sama Edo, habis mommy cari di hp kamu nggak ada sweetheart," mommynya menyempatkan diri nyengir lebar, sebelum masuk ke dalam kamarnya. Ketika yakin mommynya sudah masuk ke kamar, Elang bangkit dari kursinya, hendak naik ke atas.

"Kamu sampai kapan mau marah sama papa? Ini sudah tiga tahun Elang." suara papanya terdengar tepat ketika Elang melangkah. Elang membalikan tubuhnya, menatap pria yang masih duduk dikursinya. Pria itu berbicara dengannya, tapi mata pria itu tidak menatap kearah Elang.

"Saya rasa kalau nggak ada mommy, nggak ada hal yang perlu kita bicarakan, jadi saya akan kembali ke kamar. Permisi." ucap Elang dingin, lalu meninggalkan pria itu sendirian di meja makan.

Meja makan ini cukup besar. Terlalu besar untuk meja makan tiga orang, dan lebih menyedihkan ketika ia hanya duduk sendirian disini. Terlebih, ia sangat paham mengapa putranya pergi dari meja ini.

Rudi Pramudha Wardhana. Memiliki segalanya dalam hidup.

Keluarga sempurna, dan perusahaan raksasa yang bergerak dalam berbagai bidang. Tapi karena keserakahannya, karna kesalahannya, ia harus terima dibenci oleh putra semata wayangnya, satu-satunya keturunan dan darah dagingnya.

Rudi menghela nafas panjang, lalu melepas kacamatanya.

Seberapapun menyakitkannya, ia lebih memilih Elang membencinya. Inilah cara yang ia pilih untuk melindungi putranya.

***

Begitu sampai di kamar, Elang langsung mengambil hpnya, dengan cepat dicarinya nomor Cessa dalam kontak.

Setan cantik.

Baru Elang ingin menyambungkan telfon, tiba-tiba ia tersadar.bKesambet apaan dia namain Cessa pake kata cantik dibelakang kata setan? Sebelum menelfon akhirnya Elang sempatkan mengganti nama Cessa, menjadi 'cewek sinting'.

Elang mengetuk-ngetukan jarinya diatas meja, sambil menunggu Cessa menjawab panggilannya. Tidak lama kemudian terdengar suara Cessa dari ujung telfon.

"Kenapa? Lo duluan yang akhirnya kangen sama gue?" mendengar kalimat Cessa, Elang langsung mendengus, mengingat kalimat yang ia katakan, ketika mencuri nomor Cessa di hari pertama mereka jadian dulu.

Sial, dia kena karma lagi.

"Nyokap gue nelfon lo ya barusan?!" tau kalau ia meladeni urusannya akan panjang, Elang menutuskan untuk langsung ke inti masalah.

"Mommy bukan nyokap, tapi kok lo tau?" tanya Cessa setelah menyempatkan diri menggoda Elang.

"Ngomong apa aja dia?"

"Ngajakin gue jalan malem minggu," kata Cessa santai.

"Terus lo iyain?"

"Iya, nggak ada salahnya juga, nyokap lo asik, nggak kayak anaknya,"

"Lo mau pdkt sama nyokap gue ya? Biar gue direstuin sama elo gitu?" teriak Elang setengah frustasi, ia merasa sangat gemas pada Cessa yang tidak sadar kondisi.

"Ngarep lo. Ngapain sih lo tiba-tiba nelfon ngajakin berantem?"

"Pokoknya, kalo emang lo nggak punya niat untuk kawin sama gue, tolak semua ajakan nyokap gue!" setelah mengatakan hal itu, Elang membanting tubuhnya ke kasur. Tapi baru saja ia ingin memejamkan mata, hpnya kembali bergetar, menandakan sebuah pesan baru saja masuk.

Elang meraih hpnya lalu membaca pesan singkat yang baru masuk, saat itu juga wajahnya menengang. Dengan gerakan cepat, diambilnya jaket, kunci dan dompet.

Manusia brengsek!

Elang sudah ingin keluar rumah, tapi ia putuskan untuk mampir disebuah ruangan. Dibukanya pintu itu dengan hentakan keras, membuat papanya yang sedang duduk dibalik meja kerja mengangkat kepala.

"Saya sudah bilang! Jangan ikut campur urusan kami! Ini peringatan terakhir saya, sekaligus permintaan terakhir saya sebagai anak. Permisi." kata-kata Elang terdengar penuh kemarahan, menahan geram seperti berusaha menekan magma yang ingin meledak.

Setelah mengatakan hal itu, Elang berderap meninggalkan papanya, lalu melaju dengan motornya, merobek kepekatan malam.

-----

Bekasi, 2 Februari 2016

Are You? Really?Where stories live. Discover now