Dua Puluh Empat

190K 14.9K 793
                                    

Jam sudah menunjukan pukul dua belas malam, namun Cessa masih terpekur di atas tempat tidurnya, menatap kosong kearah dua benda yang tegeletak di hadapannya. Handphonenya yang bergetar sejak empat jam yang lalu pun ia tidak hiraukan, hanya sekilas dibacanya pesan singkat dari Elang.

Besok berangkat sekolah gue jemput kayak biasa, jangan ngaret, kalo hari pertama Bu May suka lebih sadis dari biasanya.

Besok ia memang sudah kembali masuk ke sekolah, tapi bukan itu yang mengganggunya, melainkan dua benda yang kini berada dihadapannya. Sudah hampir satu minggu sejak Cessa menemukan kedua benda itu tergeletak di depan pintu rumahnya, dan sejak itu pula mimpi buruk itu kembali hadir.

Reno kembali.

Bunga dan kado ini adalah buktinya, tapi kenyataan barusan nyaris mustahil. Cowok itu telah pergi jauh ke dimensi lain, telah lama sejak dipeluk bumi, Cessa sendiri yang menyaksikannya, Cessa sendiri yang memastikannya, dan Cessa sendiri yang merasakan pedihnya kehilangan itu.

Namun, tidak ada satupun orang yang memberinya buket bunga seperti ini, seperti yang selalu Reno lakukan dulu, lima puluh mawar putih, dengan setangkai mawar merah ditengahnya.

Seketika, ingatannya terlampar pada masa lampau.

***

"Ini apa?" tanya Cessa sambil tersenyum, ia mengerti maksud Reno memberikannya bunga, namun yang ia tidak mengerti, kenapa harus ada setangkai mawar merah di antara mawar putih lainnya.

"Itu bunga, masa lo nggak tau?" Cessa memutar bola matanya mendengar kalimat Reno yang retoris.

"Maksud aku, kak Reno kenapa harus ngasih bunganya nanggung gini, kenapa nggak merah aja semuanya, atau putih semuanya?"

"Untuk batas," kata Reno sembari tersenyum.

"Batas?" Cessa mengernyitkan dahinya tidak mengerti.

"Iya, gue pernah janji kan, apapun yang lo minta akan gue turuti?" Cessa menangguk.

"Lo minta gue untuk punya batasan, waktu gue bilang, berapa lama pun gue akan nunggu lo?" Cessa mengingat penolakannya terhadap Reno tempo hari, untuk kesekian kali.

"Kak, tapi 'kan aku masih-" belum sempat Cessa menyelesaikan kalimatnya, Reno langsung memotongnya.

"Bunga putih itu ada lima puluh tangkai, setiap kali lo ulang tahun, gue akan ngasih buket bunga yang kayak gitu, dan setiap itu pula gue akan menyatakan perasaan gue lagi ke elo, kalau lo nolak gue, lo hanya harus ngembaliin satu tangkai bunga putih, tapi kalo lo nerima gue, balikin bunga merahnya," Reno menghentikan kalimatnya sesaat, sebelum kembali melanjutkan.

"Dan gue hanya akan menyerah kalau tangkai ke lima puluh mawar putih itu udah lo kembalikan, itu artinya, lo harus tunggu lima puluh tahun lagi untuk membuat gue menyerah." Cessa terdiam, merasa bersalah.
Cessa mengulurkan tangannya, hendak mengembalikan buket bunga itu. Namun, tangan Reno menahannya.

"Gue belum nyatain sekarang, lo hanya boleh nolak gue saat lo ulang tahun nanti, dan jangan minta gue menyerah sekarang, seenggaknya, tunggu sampai lima puluh tahun lagi. Lo boleh ngelakuin apa aja, dan yang lo harus lakukan, hanya selalu mengembalikan mawar putih itu, nggak susah 'kan?" Reno menatap Cessa penuh harap.
Namun, Cessa tetap bergeming ditempatnya.

"Jangan terbebani sama perasaan gue ya Cess, biar gue ngejar lo, sedangkan lo boleh ngejar apapun yang lo mau, sampai saatnya memang hati lo yang mau untuk berbalik menyambut gue."

***

Cessa merasakan sesak itu kembali menghantamnya, rasa bersalah itu semakin pekat dan nyata. Apalagi setelah ia membuka isi kotak biru di sebelah buket tadi.

Gemetar, ia mengambil foto di dalam kotak biru tersebut, tergambar jelas keduanya dalam foto itu, Cessa dengan seragam putih birunya, dan Reno dengan seragam putih abu-abunya.

Foto itu adalah foto yang diambil dihari pertama Cessa masuk SMP, kali pertama Reno menyatakan perasaannya, dan hanya Reno yang memiliki foto tersebut. Cessa membalik foto itu, dibelakangnya, terukir tulisan tangan Reno.

"Lo mau nggak jadi pacar gue?"
"Enggak, aku masih SMP."
"Yaudah, gue tunggu lo sampe jadi anak SMA ya?"

Walaupun samar, Cessa dapat mengingatnya, itu adalah percakapan keduanya pada hari itu.

Kak Reno, gue harus apa?

***

Sementara itu, di sebuah kamar, seseorang duduk di balik meja, tidak berniat tidur walaupun jam sudah menunjukan pukul satu malam.

Malam ini, ia menyiapkan mental sekeras baja, mengebalkan hatinya dari rasa simpati, karena perasaan itu hanya akan menghancurkannya.
Besok, akan dimulainya sebuah balas dendam. Sebuah pembalasan atas sakitnya kehilangan, dan tiga tahun pelarian yang sungguh melelahkan.

Ia tersenyum miring, menatap benda di atas mejanya.

Beberapa foto tersebar, hampir semuanya memiliki hubungan di masa lalu. Matanya menatap foto Cessa, lalu beralih pada foto Elang.

"Bagaimana rasanya bahagia setelah merebut kebahagiaan orang lain?" tanyanya pada gambar-gambar itu. Matanya beralih pada foto lain, sebuah foto yang tergeletak tidak jauh dari foto Elang.

Diambilnya foto itu, lalu dibisikannya sebuah kalimat penuh kerinduan.

"Apa kabar? Lama nggak ketemu, akhirnya kita harus berhadapan-" orang itu menghela napasnya sesaat, sebelum kembali melanjutkan, "sebagai musuh."

Senyum getir tercetak jelas ketika ia mengatakan hal itu, sakit menghantamnya lebih dari pada ketika ia menatap foto Elang dan Cessa.

"Aku kangen kamu Do."

-----

Are You? Really?Where stories live. Discover now