Tiga Puluh Tujuh

157K 14.5K 1.8K
                                    

Matahari belum sepenuhnya muncul, ketika Elang membaca sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya. Pesan itu singkat, tapi berhasil membuat Elang terjaga seutuhnya.

From: Papa Cessa

Masa kritis Cessa sudah lewat, belum siuman, tapi sudah bisa di pindah ke kamar perawatan. Bisa bantu om?

Seperti disiram air dingin di tengah padang pasir, Elang akhirnya dapat menghela napas lega, dengan gerakan kilat, ia keluar dari kamar perawatan Rudi, menuju ruang tunggu ICU tempat Indra berada.

"Alhamdulilah ya om?" ucap Elang berkali-kali, perasaan hangat menjalar di dadanya saat menyaksikan satu persatu alat medis vital dilepaskan dari tubuh Cessa. Kini, Cessa tidak membutuhkan alat itu lagi.

"Alhamdulillah, kata dokter mungkin pagi ini Cessa sudah bisa siuman." Senyum Elang mengembang mendengar penuturan Indra. Setidaknya, satu beban telah melepaskannya.
Elang ikut mengantar Cessa ke kamar perawatan, sementara Indra sibuk mengurus beberapa urusan administrasi.

Kamar perawatan Cessa berada di lantai yang sama dengan papanya, hanya berbeda paviliun. Kamar rumah sakit Cessa terdiri atas satu ranjang pasien dan sebuah sofa di pinggir jendela, sebenarnya sofa cokelat itu begitu menggoda, mengingat Elang bahkan belum menutup matanya sejak semalam.

Tapi Elang sama sekali tidak ingin pergi tidur, ia takut apabila ia bangun nanti, segalanya telah kembali berubah, ia takut sadarnya Cessa hanyalah sebuah mimpi baginya. Jadi, Elang mengambil kursi lalu meletakannya di samping ranjang Cessa.

Senyumnya kembali merekah ketika melihat dada Cessa yang naik turun teratur, tanda gadis itu sedang terlelap dengan nyenyak. Elang meletakan kepalanya di dekat tangan kanan Cessa yang bebas dari infus, dihirupnya wangi Cessa dalam-dalam. Bahkan bau obat yang menusuk khas rumah sakit, kalah dengan semerbak bau parfum yang sudah melekat pada tubuh Cessa. Tepat pada saat itu, Elang merasakan sebuah pergerakan di keningnya. Samar-samar disaksikannya jari tangan Cessa bergerak.

"Cess-" Elang dapat mendengar nada suaranya yang bergetar, dengan sebelah tangan, ditekannya bel pemanggil suster, sedangkan matanya tak lepas dari tubuh Cessa.

Perlahan mata gadis itu bergerak, sebelum akhirnya terbuka sepenuhnya.

"Ada apa ya mas?" seorang suster masuk ke dalam ruangan, menjawab panggilan yang tadi Elang layangkan.

"Pasien sadar, Sus." Jawab Elang tanpa mengalihkan pandangannya dari tubuh Cessa. Suster tersebut mengangguk, lalu keluar dari ruangan, hendak memanggil dokter.

"Cessa?" Elang mengulangi panggilannya, berharap mendapat jawab, dalam beberapa detik tidak ada respon berarti sampai suara serak keluar dari bibir gadis itu.

"Kak Elang?" Elang baru saja ingin menghela napas lega, namun kalimat Cessa selanjutnya membekukannya di tempat.

"Kak Elang, di sini gelap." Cessa berusaha menggerakan tangannya, sedangkan matanya sendiri tampak kosong menatap langit-langit kamar rumah sakit.

"Cess, ini gue, lo bisa liat gue? Bisa 'kan?" Elang berhambur ke arah Cessa, menggerakan kelima jarinya di depan mata Cessa. Namun gadis itu menggeleng lemah.

"Enggak kak, di sini gelap, nggak ada apa-apa, gue nggak bisa ngeliat elo." Gemetar Cessa berusaha mengangkat tangannya, hendak menyentuh matanya. Sedangkan Elang sendiri telah membatu sejak tadi, sadar apa yang mungkin saja terjadi.

"Kak Elang... gue kenapa? Kenapa gue nggak bisa ngeliat?" suara Cessa mulai terdengar bergetar, karena takut.

"Lo nggak papa, lo nggak papa, gue janji lo baik-baik aja." Elang berusaha menenangkan Cessa, meraih tangan gadis itu ke dalam genggaman. Tapi Cessa menghempaskan tangan Elang, mulai menangis histeris.

Are You? Really?Where stories live. Discover now