Tiga Puluh Sembilan

161K 15.5K 1.6K
                                    

Satu bulan kemudian...

Cessa duduk di atas ranjangnya, menghadap lurus ke depan. Seorang dokter sedang melepaskan perban yang melilit matanya. Sebuah keajaiban, seseorang bersedia mendonorkan matanya pada Cessa beberapa minggu yang lalu. Cessa tidak tau siapa orang itu, yang jelas berjuta terima kasih ia ucapkan kepada orang tersebut.

"Coba Cessa, dibuka pelan-pelan matanya." Dokter yang menangani operasi mata Cessa, memberikan instruksi. Perlahan, Cessa membuka matanya.

"Coba... ikutin jari saya, ya... kanan... kiri..." Dokter tersebut menggerakan jarinya, bayangan yang tadinya buram, kini tampak semakin jelas, perlahan Cessa dapat mengenali sesosok cowok yang berdiri menatapnya cemas.

"Kai..." gumam Cessa, membuat seluruh orang yang berada di sana menghela napas lega.

"Alhamdulillah." Raline dan Kai langsung berhambur memeluk Cessa, sedangkan Indra mengusap-ngusap dadanya sambil mengucap syukur. Chika, Edo dan Bimo yang sejak tadi ikut berada di sana, menatap Cessa penuh keharuan.

Chika dan Bimo bahkan mengusap sudut matanya, karena haru, sedangkan Edo hanya menatap Cessa sambil tersenyum kecil.

Lo harusnya ada disini Lang, Cessa udah bisa lihat. Batinnya.

Cessa beralih pada teman-temannya, sekilas senyumnya memudar melihat keberadaan Edo dan Bimo tanpa kehadiran Elang diantara keduanya. Tapi ia buru-buru mengubah ekspresi kecewanya, karena memang telah lama sejak ia dan Elang saling melepaskan.

"Chika..." Cessa merentangkan tangannya, yang langsung membuat Chika berhambur memeluknya.

"Gue kangen ngeliat muka lo..." suara Cessa kembali serak ketika mengatakannya, terlalu menyakitkan ingatannya tentang dunia gelap yang baru ia alami.
Cessa melepaskan pelukannya pada Chika, lalu beralih pada Edo dan Bimo.

"Thanks ya kak, ternyata lo berdua baik banget sampe mau nungguin gue juga." Cessa melempar senyum tulus kearah kedua seniornya yang di balas dengan cengiran Bimo dan senyuman singkat Edo.

"Nggak masalah, lo sendiri tau, kita calon mahasiswa gabut sekarang." Bimo menepuk-nepuk dadanya bangga, membuat Cessa terkekeh.

"Belagu, UN baru selesai seminggu yang lalu aja bangga." Cessa mencibir Bimo. Cessa terdiam sesaat, menggigit bibirnya, merasa ragu ingin bertanya.

Edo yang menangkap gelagat gelisah dari Cessa mau tak mau memberi kode pada Bimo untuk berpamitan. Karena, mereka sendiri masih enggan untuk memberi tahu Cessa keadaan yang sebenarnya.

"Cess, gue pamit dulu ya ama Bimo."

"Iya Cess, gue ada urusan lagi nih." Bimo yang mengerti kode Edo, akhirnya ikut berpamitan.

"Yaudah ati-ati ya kak, by the way... makasih." Edo dan Bimo berpandangan lega, merasa terlepas dari kemungkinan harus menjawab pertanyaan Cessa. Namun, belum sempat keduanya sampai di pintu, Cessa sudah kembali memanggilnya.

"Kak, sebentar, hm..." Cessa menggigit bibirnya, bingung bagaimana kalimat yang tepat untuk menanyakan keadaan Elang tanpa tampak merindukan.

Edo akhirnya menghela napas panjang, sadar tidak mungkin lagi lepas, "Lo mau nanyain keadaan Elang?"

Mendengar malah Edo yang mengajukan pertanyaan, Bimo melotot kearah Edo, memberi peringatan, namun Edo mengabaikan Bimo dan malah melanjutkan kalimatnya. "Kalau yang lo tanya keadaan dia, dia pasti baik-baik aja sekarang."

***

Jam sudah menunjukan pukul 8 malam, artinya sudah satu jam sejak keluarganya dan Chika meninggalkan rumah sakit. Sebelumnya, Chika berniat menemani Cessa dimalam terakhirnya di rumah sakit, namun Cessa bersikeras menolak, ia merasa ia butuh waktu sendiri malam ini.

Are You? Really?Where stories live. Discover now