Part 35 - Alasan

8.7K 920 30
                                    

Tidak seperti biasanya, suasana di ruang makan pagi itu tidak ceria. Vino sudah sarapan terlebih dahulu tanpa menunggu saudara kembarnya. Padahal biasanya, jika sedang bersama, mereka berdua selalu saling menunggu. Tidak ada salah satu di antara mereka yang mau makan terlebih dahulu. Tetapi tidak hari ini.

Vino bahkan tidak berkata apa-apa saat Vano datang dan menyapa semua orang. Ia hanya berkonsentrasi dengan makanan di piringnya dan makan dalam diam.

Apa yang Vano ucapkan semalam, membuat Vino bertanya-tanya. Ia tidak mengerti apa yang dimaksud Vano dengan semua perkataannya. Setelah menghabiskan dua malam bersama Alexa, Vano pasti mengetahui sesuatu. Sesuatu yang seharusnya ia juga berhak untuk tahu. Tetapi Vano dan ucapannya malah membuatnya merasa seperti orang dungu.

Ia sebenarnya tidak keberatan Vano menghabiskan waktu bersama Alexa, meskipun ia memang tidak seharusnya merasa keberatan. Bukankah ia memang belum punya hak untuk boleh merasa keberatan. Seperti yang Vano katakan, Alexa bukan siapa-siapanya. Ralat, Alexa belum menjadi siapa-siapanya.

Tetapi bukankah Vano juga tahu, bahwa Vino menaruh harapan yang sangat besar terhadap Alexa. Seharusnya sebagai seorang saudara, Vano mendukungnya, bukannya memintanya untuk tidak lagi berharap akan kelanjutan hubungan mereka berdua.

Padahal waktu itu, ia dan Alexa tidak bertemu selama seminggu karena Alexa harus pergi untuk urusan kantor ke Semarang. Setelah bisa bertemu sebentar di hari Minggu, dua hari berturut-turut kemudian, Vano justru mengambil waktu dimana seharusnya ia dan Alexa bisa bertemu agar ia bisa melepaskan rindu. Lalu hari ini adalah hari Rabu. Otomatis bertambah satu hari lagi dimana ia tidak bisa berjumpa dengan Alexa. Semua kenyataan itu membuat Vino semakin kesal. Suasana hatinya jadi berantakan.

"Van, gimana menurut kamu tentang Alexa?" Bu Pradipta bersuara. "Kamu 'kan udah pernah pergi sama dia."

Mendengar nama Alexa disebut, Vino mengangkat wajah. Ditatapnya Vano yang juga menatapnya dengan ekspresi yang tak terbaca.

"Ya... Menurut saya, Alexa itu gadis yang baik. Dia cerdas, ramah, ceria, jiwa sosialnya juga ternyata tinggi. Secara kualitas, Alexa patut diacungi jempol."

"Berarti kita nggak salah pilih dong." Bu Pradipta tersenyum bahagia. "Tinggal Vino nih bisa atau nggak naklukkin hatinya Alexa. Bapak sama Ibu 'kan mau cepat-cepat punya mantu."

Bapak dan Ibu Pradipta tertawa.

"Ya, betul itu. Saatnya membuktikan kehebatan pesona sang mantan Don Juan. Percuma Vino jadi playboy sampai ke Amerika, kalau menaklukkan hati Alexa aja nggak bisa," timpal Pak Pradipta.

Vino tidak berkata apa-apa.

"Tapi kalau soal menikah, kayaknya harus dipikirin lagi," Vano kembali berkata.

Kedua orang tuanya menatapnya, begitu juga dengan Vino yang menghentikan suapannya.

"Maksudnya apa?" Bu Pradipta bertanya.

Vano meletakkan roti yang sedang dipegangnya, meneguk kopi yang berada dalam gelas di hadapannya, sebelum kemudian dengan tenang ia berkata.

"Alexa sepertinya bukan tipe perempuan yang ingin cepat-cepat menikah. Dia masih punya banyak sekali daftar impian yang ingin dia wujudkan. Dia juga punya target karir yang ingin dia kejar. Untuk saat ini, menikah tidak ada dalam daftar prioritasnya. Jadi kalau Bapak dan Ibu pengin cepat punya mantu, sebaiknya cari perempuan lain aja, jangan Alexa."

Bapak dan Ibu Pradipta saling pandang. Untuk sesaat, suasana hening. Untuk sesaat, yang terdengar hanya detak jam di dinding.

"Masa sih Alexa belum mau menikah? Usianya 'kan sudah dua puluh delapan tahun," ujar Bu pradipta kemudian.

Vano mencoba tersenyum. Diliriknya saudara kembarnya yang tidak berkata apa-apa dan tetap sibuk memotong telur dadar di atas piringnya.

"Kalau di Amerika, usia segitu orang belum buru-buru untuk menikah. Banya orang yang menikah di usia yang lebih dari itu. Ada orang yang berpikir bahwa pernikahan hanya akan menjadi batu sandungan untuk mewujudkan semua impian. Nah, Alexa sepertinya termasuk orang yang tidak ingin terburu-buru menikah. Jadi kalau Vino mau cepat punya istri, cari perempuan lain aja, jangan Alexa."

"Lho, masa gitu? Tapi Vino udah kadung suka. Gimana dong?" Pak Pradipta yang kali ini bersuara sambil menatap ke arah anak bungsunya.

"Tapi Alexa 'kan juga belum bilang kalau dia mau. Vino juga belum berhasil bikin Alexa suka sama dia. Ya terserah sih kalau Vino mau nunggu. Tapi sampai kapan, ya kita nggak tahu."

Kembali semua diam. Wajah Bapak dan Ibu Pradipta tampak kebingungan. Sementara Vino menunjukkan ekspresi yang tampak tidak senang. Untuk sesaat, ruang makan diliputi suasana tegang.

"Apa perlu kita bicarakan hal ini terlebih dahulu dengan orang tua Alexa? Kita 'kan memang belum pernah membahas hal ini sebelumnya. Orang tuanya Alexa kemungkinan juga belum tahu kalau puteri mereka belum ingin menikah. Kalau mereka sudah tahu, nggak mungkin mereka setuju dengan rencana perjodohan ini. Bagaimana menurut kalian? Menurut Bapak, ada baiknya kita ngobrol dulu. Kita cari jalan keluar yang terbaik untuk Vino, juga untuk Alexa. Kalau memang Alexa belum siap untuk menikah, nggak ada gunanya dipaksakan. Pernikahan yang dilandasi keterpaksaan tidak akan membawa apa-apa selain kemudharatan. Menurut Bapak sih demikian," tutur Pak Pradipta panjang lebar.

Kembali Bapak dan Ibu Pradipta saling pandang. Vano hanya diam. Sementara wajah Vino tampak tegang.

"Gimana menurut kamu, Vin?" Bu Pradipta akhirnya bertanya.

Vino meletakkan sendok yang dipegangnya, meneguk air putih dari gelas di hadapannya, mengelap mulutnya, lalu berdiri dari duduknya.

"Saya berangkat kerja dulu."

Vino berpamitan kepada kedua orang tuanya lalu pergi tanpa mengucapkan sepatah kata. Ia bahkan belum menghabiskan makanan di piringnya.

*****

Sepanjang perjalanan menuju ke kantor, pikiran Vino dipenuhi berjuta tanda tanya. Ia jarang merasa kesal, apalagi marah. Tetapi kejadian saat sarapan tadi benar-benar mengusik emosinya. Suasana hatinya saat ini benar-benar berantakan.

Jadi itu alasan Vano memintanya menjauhi Alexa? Hanya karena Alexa belum mau menikah? Hanya karena Alexa belum membuka hati untuknya?

Bagaimana Vano bisa berkata seperti itu? Bagaimana saudara kembarnya bisa dengan tega memintanya untuk berhenti mengharapkan Alexa? Padahal Vano tahu betul, bukan perkara yang mudah untuk dirinya bisa jatuh cinta. Padahal Vano juga tahu benar, untuk bisa menemukan perempuan impian, ia membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

Apakah Alexa sendiri yang mengatakan bahwa ia belum siap untuk terikat dalam sebuah pernikahan? Atau Vano yang secara sepihak mengambil kesimpulan? Vino memukul kemudi mobilnya dengan perasaan gusar.

Alasan itu sepertinya terlalu dibuat-buat. Vino mengenal Vano sudah seperti ia mengenal dirinya sendiri. Ia sangat memahami jalan pikiran saudara kembarnya. Pasti ada hal lain yang jauh lebih besar. Pasti ada hal lain yang Vano sembunyikan.

Tetapi jika memang hanya itu alasannya, jika memang itu alasan yang sebenarnya, ia akan buktikan kepada Vano dan semua orang, bahwa cepat atau lambat, ia pasti bisa membuat Alexa membuka hatinya. Bahwa cepat atau lambat, ia pasti bisa membuat Alexa bersedia untuk menjadi istrinya.

*****

Serenada di Ujung SenjaWhere stories live. Discover now