Part 39 - Teka Teki

8.9K 830 120
                                    

Senyum Alexa menghilang ketika melihat siapa yang datang.

"Oh kamu, aku kira Vano."

Vino terkejut mendengar ucapan Alexa. Kenapa Alexa lebih mengharapkan bertemu Vano daripada dirinya?

"Aku ke sini nganterin buku titipan Vano. Kok kamu kayaknya nggak suka lihat aku?"

"Dari dulu juga aku nggak suka," sergah Alexa. "Sejak kapan aku bilang aku suka ketemu kamu?"

Alexa mengambil kantong berisi buku dari tangan Vino lalu ia membalikkan badan bermaksud menuju ke kamar, tetapi Vino menahan tangannya.

"Alexa..."

Alexa menatap Vino yang memandangnya dengan sorot mata penuh harap. Untuk sesaat, hati Alexa bergetar.

"Apa?"

"Bisa kita ngobrol dulu?"

"Ngobrolin apa?"

"Apa aja. Aku cuma pengin ngobrol sama kamu."

Alexa terdiam. Ia sebenarnya tidak tega mendengar nada suara Vino yang setengah memohon. Tetapi jika ia mengiyakan, ia takut hal itu akan memberikan Vino harapan. Sedangkan ia tahu, Vino tidak akan pernah memiliki kesempatan, karena seluruh hati dan cintanya sudah dimiliki oleh Adrian.

"Aku capek," sahut Alexa akhirnya.

"Please," Vino memohon.

"Aku mau tidur, Vin. Hari ini aku capek banget."

Mendengar jawaban Alexa, Vino melepaskan tangannya. Ditatapnya Alexa dengan sorot mata terluka.

Alexa menarik diri lalu berjalan menuju ke kamarnya.

"Tolong sampaiin makasih sama Vano," ucap Alexa sebelum menutup pintu.

Vino terdiam dan dipenuhi perasaan tersinggung sekaligus sedih. Alexa menolak berbicara dengannya. Alexa juga lebih mengharapkan bertemu Vano daripada dirinya dan itu membuatnya merasa tidak karuan. Apakah memang benar telah terjadi sesuatu antara saudaranya dan Alexa? Buru-buru ditepisnya pikiran itu. Vano saudaranya dan ia percaya Vano tidak akan pernah merebut miliknya seperti yang pernah dikatakan oleh saudara kembarnya itu.

"Udah deh nggak usah dipikirin, kamu 'kan tahu Lexa memang gitu." Celia menyodorkan minuman lalu mengajak Vino duduk di sofa. "Kamu udah makan belum? Tumben datangnya malam."

"Ya aku heran aja kenapa Alexa bisa bersikap kayak gitu," sahut Vino tanpa menghiraukan pertanyaan Celia. "Selama aku kenal Alexa, dia nggak pernah kelihatan senang atau tersenyum tulus buat aku,bagaimanapun aku udah berusaha untuk menyenangkan hatinya. Tapi sama Vano lain. Mereka berdua akrab banget. Sikapnya ke Vano bertolak belakang sama sikapnya ke aku. Padahal yang akan menikah sama Alexa 'kan aku, bukan Vano. Aku nggak ngerti deh, Cel. Apa jangan-jangan mereka berdua saling suka atau ada hubungan istimewa?"

"Hus, ngawur aja kamu, nggak gitu lha."

"Nggak gitu gimana? Kamu tadi dengar juga 'kan waktu Alexa bilang dia kira aku Vano? Itu artinya dia ngarepin Vano yang datang, bukan aku."

"Iya, tapi kamu mikirnya jangan kejauhan. Vano nggak mungkin ada apa-apa sama Alexa."

"Cel, apa benar Alexa belum pengin menikah?" tanya Vino dengan raut wajah serius.

"Hah? Kata siapa?"

"Kamu 'kan lebih kenal Alexa daripada aku. Apa benar kayak gitu?"

Celia memutar duduknya menghadap Vino dan menatap Vino dengan raut wajah bertanya.

"Kamu kata siapa? Lexa yang bilang? Kalau iya, itu cuma alasan. Aku kenal Lexa udah lama. Meskipun dia lulusan S2 dan punya pekerjaan bagus, dari dulu cita-cita terbesarnya adalah menjadi seorang Ibu. Dia itu suka anak-anak. Dia juga belajar memasak karena katanya suatu hari nanti dia mau jadi ibu rumah tangga, bukan wanita pekerja. Jadi kalau Lexa bilang dia belum pengin menikah, menurutku itu cuma alasan."

Serenada di Ujung SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang