4. DIA DAN AKU

110 27 25
                                    

Darah mengalir di wajahku.

"Tidak!!! Kenapa ini terjadi?!!" teriak Lina menangis terisak dan membungkam mulutnya.

"Bagaimana bisa Ardi ada di sini juga? Dia tadi sempat kirim pesan padaku kalau dia tidak bisa datang karena ada acara," Setyo mendekap dan menutup mata Lina.

Semua hanya bisa terdiam dengan wajah ketakutan mereka. Jika saja aku berlari lebih cepat dan berhasil menepuk pundak Ardi, hal seperti ini mungkin tidak akan pernah terjadi. Ini menakutkan, bagaimana bisa kita keluar dari kondisi seperti ini? Lalu, jika Ardi saja mengalami kejadian ini, bagaimana dengan Rafa? Bagaimana dengan dia?

Kemudian Setyo meraih lengan Rani, menariknya agar duduk di samping Lina. Setyo kebingungan akan kejadian ini.

Dia menggenggam pundakku begitu erat dan rasanya sakit sekali. Rendra memegang kedua pundakku, semakin lama semakin erat membuatku merasa sakit. Ditengah tangisku aku melirik wajah Rendra, Amarahnya terlihat sangat jelas dari kedua matanya.

"Temanmu yang kamu cari ada di ruang belakang gedung ini, dia berada di dalam kotak besar yang berjajar di sana, kurasa dia sudah mati,"

Seorang gadis yang begitu kusut penampilannya menghampiri kami. Memberikan petunjuk untuk langkah kami. Baju seragam putih abu-abu dengan kondisi compang camping sangat kotor penuh debu, rambut yang terurai sebahu sangat kusut, tatapan matanya kosong namun raut wajahnya begitu sedih. Sepatu satu sisi yang hilang dan kaos kaki penuh lubang, tas sekolah berwarna biru tua yang dia pakai juga sudah sangat usang. Melihat keadaan gadis ini, sepertinya kami berada di dunia yang berbeda dari sebenarnya. Dapatku pastikan, gadis ini bukan berasal dari sini, dia seperti terjebak dan tidak bisa kembali.

Kami melihat gedung yang gadis itu tunjuk. Aku perlahan berdiri dengan kaki yang masih bergetaran. Berdiri perlahan sembari berpegangan pada lengan Rendra.

Tanpa berucap, Rendra menarikku menuju gudang tersebut. Ya! Itu gudang, tepat berada di samping gedung utama. Amarahnya jelas masih terlihat.

"Eh?! Rendra bagaimana dengan Ardi?!"

Aku memberhentikan langkahnya dengan menarik kembali tangannya. Tatapan matanya membuatku sedikit takut.

"Kita bawa pulang setelah menemukan Rafa, setidaknya firasatku berkata bahwa Rafa masih hidup!" Rendra kembali menarik lenganku dan berjalan sangat tergesah.

Lainnya mengikuti tanpa berani mengeluarkan kalimat apapun bahkan Setyo yang tegas itu terdiam ketika tahu Rendra sedang kesal.

Akhirnya dengan keputusan Rendra, kami semua meninggalkan Ardi dengan kondisi seperti itu, melewati gadis yang memberi arah tadi. Berat rasanya namun saat ini kita hanya memiliki satu pilihan.

Crrrrrr.... Kreek kreek

Di depan gedung, sejenak kami terdiam. Rendra berada paling depan di antara kami. Aku melihatnya menelan ludah untuk meyakinkan dirinya sendiri agar terus menjadi pemberani. Pintu telah terbuka, tidak ada kesulitan karena pintu juga sudah rusak dan tidak terkunci. Di dalam terlihat sangat gelap dengan sedikit penerangan, perlengkapan seperti barang barang kuno juga samar-samar terlihat sangat berdebu, lalu ada beberapa kotak persegi berbahan kayu berjejer rapi di sisi paling belakang.

Aku sudah mencuci wajahku, bajuku tetap ternoda oleh darah terutama di daerah dadaku. Aku tidak membawa baju ganti atau apa pun. Jadi aku terpaksa tetap memakai apa yang aku pakai.

Kami perlahan masuk. Rani dan Lina bergandengan di belakangku dan Rendra, sedangankan Setyo berjalan paling belakang. Semakin dalam lalu aku melihat satu penerangan saja. Lampu neon menyala dengan sebuah kotak di bawahnya.

"Kotak yang dimaksud adalah semua ini?" ujarku.

"Mungkin saja," timpal Rendra, lantas menghampiri kotak kayu yang kira-kira bisa diisi 2 sampai 3 orang. kotaknya persegi bukan seperti peti mati.

"Oh... Jadi kalian dibawa ibu ke sini,"

Langkah kaki terdengar sangat jelas menghampiri, di bawah remang-remang penerangan, terlihat seorang laki-laki dengan suara menggema, suaranya sangat berat membuat kami terkejut dan berujung sangat waspada.

"Suara ini? Familiar? Di mana aku pernah mendengarnya?!" batinku dalam hati.

Dia memang pemberani di antara kami, Rendra yang aku maksud. Dia berjalan menghampiri laki-laki itu, menanyakan tentang Rafa. Aku tidak terlalu jelas mendengarnya, lalu tidak lama Rendra menatapku.

"Ada apa?" Aku bertanya dan mendekatinya perlahan. Rani sempat menahan langkahku namun tangannya aku hempaskan dan mengabaikannya.

"Rafa ada di dalam kotak," Rendra berbisik padaku. Tidak banyak tanya, langkahku langsung menghampiri kotak kayu yang paling dekat denganku.

Cklek!

Suara itu menggema sangat keras di telingaku. Debu keluar dari dalamnya. Aku membukanya langsung sangat lebar.

"Harum ini? Menyengat sekali!" Aku menutup hidungku sangat rapat dan menjauhi kotak ini.

Terlihat bungkusan kain hitam terbujur di dalamnya dengan bunga kenanga yang wanginya menyengat karena saking banyaknya bunga itu.

"Kamu dan Dia? Apa yang menarik dari kalian berdua sampai-sampai Bael membawanya ke sini," laki-laki itu kembali berbicara.

Kali ini aku bisa dengan jelas melihat wajahnya. Laki-laki muda memakai Blazer berwarna Hijau olive dengan kaos hitam sebagai dasarannya, celana kain hitam dan sepatu hitam. Rambut klimis rapi dilengkapi juga jam tangan hitam yang sederhana di tangan kanannya. Wow! Seperti orang kantoran yang benar-benar tidak masuk akal berpenampilan seperti itu berada di tempat seperti ini. Apakah dia juga terjebak seperti kami?

"Apa maksudmu? Dan apa yang di dalam ini?!" Wajahku penuh tanya.

"Manusia koleksiku," dengan santai dia menjawab tanpa melihatku.

Terkejutnya aku mendekati Rendra lalu menggenggam tangannya. Disusul semuanya mendekati kami berdua. Kami berjalan berpaling dari laki-laki itu yang entah aku tidak mengerti siapa dia. Kami menuju kotak yang semula mencuri perhatianku, yaitu dengan penerangan tersebut.

Setyo kali ini yang membuka tutup kotaknya. Perlahan dia membuka dan mata kami tertuju padanya. Hanya berisi satu benda yang terbungkus kain hitam dengan bunga kenanga di sekelilingnya seperti mayat itu. Aku menelan ludah dan membuka kain hitam itu perlahan lalu sangat cepat hingga terlihat jelas apa sebenarnya itu.

"Lina?!" Sontak kami berucap bebarengan.

Aku melihat satu persatu wajah temanku mungkin saja apa yang aku lihat sebuah halusinasi, semua juga melakukan hal yang sama sepertiku. Sesaat saling bertatap mata dengan Rendra dan merasakan air mata perlahan membanjiri mataku.

"Bagaimana bisa?" Lirihku.

Rani kulihat dia menjauhi kami ditemani Setyo. Dia membungkam mulutnya dan tentu saja dia menangis sejadi-jadinya namun tanpa suara.

Kepala Lina! Hanya Kepala! Wajah penuh memar berwarna ungu kehitaman itu, Lina memejamkan mata. Padahal dia sedari tadi bersama kami dan lagi-lagi tanpa kami sadari dia menghilang dan menjadi seperti ini.

Aku meratapi kejadian ini, memegangi kotak dan tidak lagi melihat Lina, bersandar di kotak itu sembari menangis tersedu ketakutan. Tanganku bergetar hebat! Aku sudah tidak tahu lagi harus bagaimana jika siapa saja yang bersamaku tiba-tiba menghilang dan menemukan mereka dalam kondisi yang tidak aku inginkan. Laki-laki itu tertawa sangat keras seperti ada kepuasan pada hatinya saat melihat rasa ketakutan kami.

"Kita keluar dari sini! Cepat!" Rendra tanpa pikir panjang menggendongku dan segera berlari keluar gudang ini disusul Rani dan Setyo.

"Kita kembali keluar! Ayo Rani!" Setyo menggandeng Rani dan berlari.

Kami akhirnya memutuskan untuk berlari keluar dari wilayah kastel dan bersembunyi di hutan tepat berada di sekeliling pagar kastel istana.

Tentang apa yang diucapkan laki-laki di dalam gudang, tentang ketertarikan pada aku dan Rendra masih terngiang pada benakku. Sangat menggangguku. Di dalam dekapan Rendra yang menggendongku sembari mencari tempat sembunyi. Perasaan putus asa menghantuiku. Lalu aku menutup wajahku.

WILAYAH TAK TENTUWhere stories live. Discover now