9. AKBAR

60 15 0
                                    

Dentuman terdengar keras di telingaku. Aku sedang bermain dengan kakakku. Suara itu terdengar dari dapur istana lalu disambut dengan bara api hitam yang menyelimuti.

"Kak!" Aku memanggil kakakku dan menarik tangannya untuk berlari mendekati gedung itu.

Wajahnya sedikit ketakutan dan kekhawatiran aku lihat. Setelah aku berhenti di depan pintu, Api itu semakin membesar. Kakakku membuka pintu dengan sihirnya dan saat aku lihat lebih jelas, dia, raga ibundaku hangus terbakar oleh api.

"Akbar!! Kamu kenapa?!"

Kurasakan sedetik napasku terasa berhenti. Satu temanku membuyarkan lamunanku. Aku tatap matanya dengan penuh ketakutan. Nyaris saja aku menunjukkan sisi lemahku kepada mereka yang nantinya membuat mereka tidak percaya padaku bahwa aku berada di pihak mereka.

"Jawab aku, Akbar," Pinta Riski memegangi pundakku.

Aku kembali menoleh ke arah teman-temanku yang lain. Mereka terdiam melihatku bercucuran keringat pada malam yang dingin ini.

"Tidak, tidak apa, kita masuk perlahan," jawabku lagi-lagi membohongi mereka.

Semuanya hilang, yang tersisa hanyalah ruang kosong, dinding penuh lumut dan tanaman merambat yang tidak pernah aku temui di dunia manusia.

"Seperti koridor sekolah, ini tempat apa, ya?" gumam Setyo yang terdengar.

Aku hanya diam saja sembari mengangkat kedua bahuku tanda aku juga tidak mengerti, yang sebenarnya aku mengerti tempat ini dulunya dapur istana. Dengan ruangan tertentu untuk setiap kebutuhannya. Begitu luas dan besar memang, hingga buat berlari-lari pun tidak akan merasa kesempitan.

Sesaat aku melirik teman-temanku, mereka masih penasaran dengan dunia apa ini sebenarnya. Kecurigaan mereka terhadapku semakin menjadi ketika sedikit demi sedikit aku menuntun mereka tanpa keraguan.

Zlaarr!!

"Eh?!" suara Rani terdengar cukup pelan di belakangku.

"Akbar!!!" disusul teriakan Setyo dan Riski.

Lubang hitam muncul di bawah mereka dan menelan mereka hidup hidup. Itu lubang untuk memindahkan tempat mereka!

"Dewi! Mila! Mendekat padaku!" pintaku dengan segera dan sedikit lantang.

"Ada apa ini!" Tanya Dewi ketakutan.

Aku hanya mengelus kepalanya perlahan dengan pandanganku menjeling ke arah kiri. Aku merasakan ada sesuatu yang hadir mengikuti kami sejak kami masuk ke gedung ini. Suara langkah kaki terdengar jelas di telingaku. Mila mulai menunjukkan gerak gerik waspada.

"Berhenti mempermainkan kami, Cimeries!!" ketusku dengan tatapan sinis.

Bisa-bisanya dia berpakaian seperti pekerja di dunia manusia dengan tubuh yang diubahnya menjadi lebih muda.

"Cimeries?" sahut Dewi lantas menatap mataku.

"Apa kamu mengerti nama itu?" tanyaku lembut.

Dewi hanya menggeleng, begitu juga dengan Mila. Semakin dekat langkah kaki Cimeries mendekati kami. Dia tersenyum menyeringai dan menatap mataku.

"Selamat datang kembali ke dunia ini, Asta—"

"Kita pergi dari sini!" tukasku sebelum Cimeries menyebut nama asliku di hadapan Mila dan Dewi.

Aku menuntun dan menarik tangan mereka berdua untuk segera keluar dari gedung ini tetapi sayangnya kewaspadaanku menghilang terlalu cepat karena panikku teringat kejadian 500 tahun yang lalu. Bukan tempat yang semula. Kami dipindahkan tempat kembali ke sebuah perbukitan yang tidak cukup tinggi dengan perkotaan mati di bawahnya. Hari masih tetap pada malam. Aku melihat setitik cahaya berjalan dari kejauhan. Aku melihatnya sembari sedikit menyipitkan mataku. Ya! Itu Rendra! Dia berjalan kebingungan.

WILAYAH TAK TENTUWhere stories live. Discover now