16. BERPALING DARI REHAT

23 12 6
                                    

"Rafa!!!"

"Apa yang dia mau dari Rafa?!" lanjutku sembari masih memangku Merli.

Setyo sudah hancur. Padahal kulihat dia hanya terlempar. Namun tubuhnya hancur, benar-benar hancur. Kepalanya, dan isi tubuhnya keluar. Mila dan Rani sampai muntah-muntah bercampur tangis.

"Akbar kenapa kamu tidak bisa lakukan apapun?" tanyaku sedikit membentaknya.

"Bukannya tidak bisa Ren. Hanya saja apa yang diincar kalian adalah kekuatan, tetapi yang aku herankan mengapa harus dipermainkan seperti ini?" Jawaban Akbar membuatku sedikit menggeleng tanda tidak habis pikir dengan pemikiran Cimeries dan Siren. Dua iblis yang sedang mengincarku.

"Semua sudah berlalu, ya meski beberapa detik tadi. Kita cari tempat yang lebih aman. Darah dari tubuh Merli masih keluar, kita urus dia saja," timpal Riski lalu perlahan membantu Mila dan Rani berdiri.

Aku mengangkat tubuh Merli perlahan, dibantu oleh Akbar yang membuat dia kugendong pada punggungku. Benar-benar bukan main. Apanya yang rusak hingga darahnya keluar begitu banyak. Membasahi jubahku hingga menetes-netes. Sialnya tubuhnya semakin dingin.

Kami melangkah cepat keluar dari gedung ini. Kami lupa, lupa bahwa di dalam hutan ini, ini adalah satu-satunya gedung. Harus kemana kita aku semakin bingung. Haruskah kami kembali ke kastel. Ya! benar! Akbar pasti tahu.

"Apakah kita akan kembali lagi ke kastelmu?" tanyaku dengan nada gelisah.

"Sepertinya jangan dulu, mereka berdua sedang asik menikmati isi dari kastel yang sedari dulu mereka rebut tahtanya. Dari sini aku yakin mereka mengincar kalian juga menjebakku, karena mereka tahu aku masih hidup. Jika itu terjadi, mereka masih gelisah akan aku rebut kembali kastel itu. Tetapi satu hal dalam diriku yang saat ini tidak yakin untuk mengalahkan mereka berdua, aku sudah lama pergi dari dunia ini," jelas Akbar mendekatiku dan berjalan berdampingan denganku.

Menelusuri hutan lagi. Rani dituntun oleh Akbar, dan Mila dengan Riski. Beberapa saat kami menemukan pohon besar. Kami istirahat di sana bersama gelapnya malam. Banyak sekali di sekitar wilayah kastel pohon-pohon paling besar dari yang lain. Seperti tempat pertama kami bersembunyi, hingga saat ini. Jaraknya cukup berjauhan.

Kusandarkan Merli pada pohon. Kulihat wajahnya yang benar-benar penuh darah. Wajahnya pucat membiru. Ingin aku tangisi begitu dalam atas kepergiannya. Sial! mereka sudah membunuh teman-temanku dengan begitu keji! dengan permainan mereka! yang paling menyakitkan yaitu aku harus memaklumi ini semua karena mereka berdua memang iblis!

'Apa dia kini benar-benar pergi?'

"Hei! Ren! Jangan berpikir seperti itu!" Akbar mengagetkanku karena tepukan pada pundak yang cukup keras.

"Kenapa kamu bisa tahu apa yang aku pikirkan?!" Kagetku sedikit menjauh darinya.

"Dari ekspresimu," jawab Akbar lantas mendekati Merli.

Dia menggenggam tangan Merli perlahan. Memeriksa wajahnya dan mengusap darahnya. Kulihat matanya memiliki kesedihan. Hanya kupandangi. Seketika wajah Akbar mengernyit dan mendesah kecil. Aku hanya bisa bergantung pada Akbar. Meski aku tahu dia iblis. Namun apa boleh buat, dia yang lebih tahu dari pada aku.

Malam itu, sekilas aku ingat ketika aku akan menciumnya dalam kegelapan. Kala itu ingin aku mengatakan bahwa aku mencintainya sedari awal kami bertemu, bahwa ternyata rumah kami berdekatan. Tetapi dia terlalu keras mengunci hatinya. Saat itu aku sedikit menyesal telah membuatnya mencurigaiku karena sikapku. Aku pikir dengan menciumnya aku memiliki kesempatan untuk meyakinkan dia bahwa aku bisa melindunginya tetapi ketika keadaan yang aku hadapi saat ini, di depan mataku, aku gagal melindunginya.

WILAYAH TAK TENTUDove le storie prendono vita. Scoprilo ora