22. RAFAEL

23 8 0
                                    


Dia datang dengan langkah kakinya yang lebar. Bersama dengan Pak Roni sebagai guru Matematika telah memperkenalkannya. Kacamata tebal, mata yang teduh dan sedikit malu-malu.

"Rafael, Hanya satu kata saja namaku,"

Ucapnya kala itu di depan kelas dengan sedikit gemetaran. Tiga anak yang dikenal selalu merundung berada di kelasku dan Rafa menjadi target baru mereka. Awalnya aku, Rendra, Setyo, Riski, Merli, Rani, Mila, Dewi dan Lina tidak mau berurusan dengan mereka.

Saat itu, baru saja aku dan Rendra keluar dari kantin. Tepatnya satu bulan Rafa menjadi murid pindahan. Aku mendapatinya dirundung habis-habisan dan di permalukan di depan semua siswa. Dia di hajar di tengah lapangan bola. Sampah di tumpahkan kepadanya, itu ada beberapa tong yang mereka bawa ke tengah lapangan. Aku tidak tahan melihat perlakuan mereka semakin menjadi. Melihat Rafa babak belur dan tidak ada satupun guru yang berani menghentikan mereka karena saking kerasnya.

"Berhenti!"

Dari sisi lapangan aku berteriak. Rendra tahu apa maksudku, dia lantas berlari mendekati Rafa, membersihkan sampah-sampah yang menempel di tubuhnya. Langkah panjangku menghampiri mereka. Menggertaknya dengan menunjukkan mata hitamku sesaat yang aku pastikan hanya mereka bertiga yang tahu. Mereka akhirnya berlari terbirit-birit meninggalkan kami.

SIINGG!!

Aku tersentak saat aku merasakan kehadiran yang tidak asing di dekatku. Aku merasakan aura ini lantas menoleh ke arah Rafa. Auranya mirip dengan kakakku, Bael. Rafa masih dengan tatapan polos melihatku.

"Ah! Tidak mungkin!" gumamku dan membantu Rafa berdiri untuk membawanya ke UKS.

Kami menjadi satu circle. Kami menjadi semakin akrab. Rendra kini dekat dengan Rafa hingga orang tua Rafa menitipkannya kepada Rendra setelah tahu fakta bahwa Rafa telah mengalami perundungan.

"Mer, Ren. Bagaimana jika aku bukan manusia?"

Aku ingat ketika Rafa yang pendiam dan sedikit cuek melontarkan kalimat itu saat kami tengah makan di kantin. Saat itu aku tidak merasakan keanehan dari pertanyaan Rafa yang aku anggap hanya gurauan.

"Akbar, apa kamu bisa merasakan kehadiran orang-orang terdekatmu?"

Dia mengatakan itu saat kami berdua berjalan di koridor dan mengantarkan tugas ke ruang guru. Aku kira itu hanya candaannya karena dia sempat tertawa sebelum aku menjawabnya.

Terakhir! Saat semua berencana reuni, dalam grup chat whatsapp dia yang mengusulkan tempatnya untuk datang ke taman itu.

Jadi sebenarnya dari awal kedatangan Rafa, dia sudah merencanakan semuanya. Saat itu juga aku tidak bisa langsung datang dengan yang lain karena pekerjaanku yang sedikit terhambat karena masalah produksi.

"Cih! Sialnya kenapa tidak aku sadari saat itu juga!" decakku terdengar oleh Rendra.

"Apa kita teringat suatu hal yang sama?" tanya Rendra.

"Bisa bisanya aku menganggapnya candaan di saat dia berkata sebenarnya," jawabku bersandar dengan keras.

Diikuti Rendra yang bersandar juga. Beberapa menit kemudian petugas autopsi keluar ruangan. Rendra tidak berkata apapun ketika petugas menjelaskan keadaan Merli saat itu. Ya! Merli meninggal dianggap terkena serangan jantung.

"Rendra! Bagaimana semua ini bisa terjadi?! Kau tahu sendiri kan Merli tidak punya penyakit itu?!"

Dari ujung lorong rumah sakit, Ayah Merli datang dengan nada tinggi. Dia menghampiri Rendra dan segera mencengkeram kerahnya. Ibu Merli tanpa melihat kami, dia langsung masuk ke ruang jenazah dan terdengar tangisnya dari luar sini.

Di susul lagi dengan orang tua Rendra yang tergopoh-gopoh melepaskan tangan Ayah Merli dari leher Rendra.

"Aku tidak bisa melakukan apapun, harus aku jelaskan bagaimana kepada mereka?" Ucap Rendra menghentikan percekcokan antara Ayahnya dan Ayah Merli.

"Jelaskan apa yang terjadi sebenarnya?" Kini Ayah Merli sedang berhadapan denganku.

"Aku bisa jelaskan sejelas-jelasnya tentang semua ini, dan mungkin kau tidak akan percaya. Jadi untuk saat ini, semuanya tenanglah, biar aku selesaikan masalah ini dengan Rendra," ucapku dengan sedikit mengeluarkan cahaya ungu itu lagi yang aku sembunyikan di balik badanku.

Benar-benar melelahkan untuk melakukan ini semua. Aku yang harus membereskan sendiri semua ini karena Rendra juga masih tidak terkendali dengan pikirannya. Dia telah di selimuti penyesalan.

Kini, Merli sudah di tempat per istirahatan terakhirnya. Kemeja dan celana panjang berwarna hitam telah di pakai oleh Rendra untuk mengenang Merli. Dari kejauhan, orang-orang yang melayat dan orang tua Merli mulai pergi bergantian. Rendra masih tetap di sana dan mengelus-elus batu nisan Merli.

"Kegagalan dalam hidupku yang paling sakit adalah tidak memelukmu dengan erat,"

Kalimat itu aku dengar ketika aku sudah sampai di sampingnya. Aku menyentuh pundaknya dan sedikit menepuk tepuk. Berharap dia cepat pulih dengan perasaannya. Kini aku tidak punya pilihan lain, aku masih membutuhkan Rendra untuk membunuh Bael. Tapi jika Rendra masih seperti ini aku khawatir dia akan berakhir seperti Merli dan Bael berhasil dengan rencananya merebut tahta yang sedari dulu diwariskan padaku.

Senja mulai hadir. Tidak hentinya Rendra masih menatap nama Merli yang terpapang. Aku mulai meninggalkannya, aku biarkan dia sendiri tetapi tidak benar-benar aku tinggalkan. Aku hanya sedikit menjauh, berada di tepi tempat pemakaman.

Malam sudah hadir, aku merasa Rendra sudah gila seakan kehilangan hidupnya! Dia masih dengan posisi yang sama!

"Sudah malam, Ren! Mau sampai kapan kamu seperti ini?!"

Bahkan ucapanku tidak dihiraukan sama sekali. Dia hanya menepis tanganku tanpa berucap satu kata pun. Membuatku kembali ke tepi. Aku duduk, menunggu Rendra beranjak dari tempatnya.

Hari pertama, Rendra masih bertahan di sana tanpa tangisnya.

Hari kedua, Rendra mulai merubah posisi bersila dan mulai menyangga kepalanya.

Hari ketiga, Rendra mulai tertidur di sebelah makam Merli. Akhirnya aku melihatnya tertidur begitu pulas setelah hal melelahkan yang dia alami. Aku biarkan dia melepas lelahnya begitu lama hingga berganti hari.

Hari keempat, aku masih menjaganya di sini. Fajar hadir dan saat itu pula Rendra terbangun, dia kembali melihat makam Merli kemudian beranjak pergi dari sana.

'Kamu bisa menemukan apapun tentang dunia ini di sini. Karena itu, suka membaca adalah hal yang baik untukmu,'

Ucapan Ayah waktu itu, sebelum kematian ibuku, Ayah sempat berkata seperti itu. Rendra mendekatiku, kurasa dia sudah mulai bisa menerima keadaan.

"Batu," ucapku ketika Rendra melaluiku dengan sengaja.

Membuat langkahnya terhenti sesaat lalu melangkah kembali. Aku melihatnya menjauh dariku sembari mencoba merapikan rambut ikalnya.

"Jika kesedihanmu ingin berakhir, kita temukan Batu yang dapat menghidupkan Merli kembali,"

Kali ini berhasil. Kalimatku dapat menjadikan Rendra menghiraukanku dan berjalan menghampiriku.

"Akan aku lakukan apapun jika dapat mengembalikan Merli,"

Dia mencengkeram erat kedua bahuku, menatap tajam mataku. Aku kembali melihat Rendra yang melepas keterpurukannya. Matanya mulai ada semangat untuk berjuang walau itu demi Merli tetapi juga menguntungkanku untuk membantu menggagalkan rencana Bael.

"Akan aku buka gerbang menuju dunia itu, pegang tanganku,"

Selagi menunggu Rendra tersadar sebelumnya, aku juga mengumpulkan kekuatanku untuk membuka gerbang ini. Satu langkah saja, kami sudah kembali ke dalam dunia iblis.


WILAYAH TAK TENTUWhere stories live. Discover now