18. YANG BERLALU

28 7 2
                                    

Aku membuka mataku perlahan. Kurasakan empuk kasur, dan hangat selimut yang menutupi sebagian dari tubuhku. Detik jam dinding terdengar jelas. Sorot matahari pagi menembus ventilasi. Aku kenal tempat ini, aku berada di kamarku.

Masih setengah sadar. Aku bangun dan mengucek mataku. Melempar selimutku dan beranjak dari ranjang. Berjalan kemudian membuka pintu kamar. Baru kusadari, kurasa aku sudah keluar dari dunia itu.

Kembali masuk ke kamarku. Memeriksa ponselku dan sesegera aku menghubungi Rendra.

Tuuuut.... tuuut.....

Dia tidak menjawab telepon dariku. Kucoba menghubungi Akbar. Dia juga tidak ada respon. Teman-teman yang lain juga begitu. Aku bergegas ganti baju dan keluar untuk menemui Rendra dan yang lain di rumah mereka. Bahkan aku juga baru sadar bahwa aku di rumah sendirian. Memang hari ini pagi, dan bukan hari libur. Sudah pasti ibu dan ayah sudah berangkat bekerja. Hari ini memang ada jadwalku untuk bekerja, namun sementara aku lupakan itu, aku harus tahu kabar teman-temanku dulu.

Tuuut... tuut....

Aku terus menghubungi mereka. Tetap tidak ada yang mau mengangkat telepon dariku. Anehnya, baterai ponselku penuh, padahal saat di dunia itu, menyala pun tidak bisa.

Melewati jalan pintas. Kanan-kiri pepohonan dan lahan sawah yang luas, beberapa gazebo tertanam di tengahnya untuk istirahat para petani. Semilir angin menerpaku, segarnya pagi dan embun yang masih ada pada rumput mengenai kakiku. Jam menunjukkan pukul 05.30 pagi. langit mulai berganti warna.

Zlaaats! Blaar!!!

Aku terhenti. Merasakan angin yang kencang melewatiku lalu menyisakan suara ledakan setelahnya. Aku perlahan menoleh, beberapa pepohonan terlihat tumbang dari kejauhan.

Ponsel yang aku genggam terjatuh. Rasa was-was memelukku. Aku terdiam sembari pandanganku menyapu. Merasakan firasat buruk. Malah sekarang, pikiranku bertanya-tanya,

"Apa benar ini duniaku atau hanya manipulasi saja?"

Angin sudah tidak terasa. Perlahan aku mendongak ke atas. Langit masih baik-baik saja. Aku mengambil ponselku lalu berjalan menuju salah satu gazebo yang dekat. Gazebo kecil sederhana. Aku berbaring. Bila memang ini duniaku, sudah pasti banyak pesan yang masuk di ponselku, terutama pesan dari teman kerjaku. Tetapi ini tidak ada pesan satu pun yang masuk.

"Oh iya! Kenapa sampai lupa gak lihat kalender!" ujarku sendiri lantas melihat layar ponsel.

Ya! Sudah kuduga. Ponselku langsung mati! yang sebelumnya sudah ada pemberitahuan baterai lemah. Padahal sebelumnya kulihat baterai penuh. Sudah kuduga ini hanya manipulasi.

Siuuuut!! Wuushh!!

Seketika aku membulatkan mataku ketika atap gezebo menghilang dalam sekejap-menghilang seperti terpotong sesuatu, dan sesuatu itu tidak lain adalah angin. Bagaimana bisa angin menyayat begitu tajam?

Aku bangun dan melihat sekeliling. Tidak ada siapa-siapa. Namun pepohonan yang sebelumnya berdiri kokoh di depan gazebo roboh tak karuan. Cakrawala antara sawah dan langit kini terlihat jelas. Awan cumolonimbus berwarna putih itu terlihat indah dari sini tetapi ada yang aneh.

Mereka bergerak sangat cepat seperti air yang mengalir pada langit!

Aku membisu. Sendirian dan aku tidak tahu apa yang harus aku lawan. Berlari? Aku rasa itu percuma.

Aku kembali berusaha menghidupkan ponselku. Tanganku bergetar, ingin aku menangis namun percuma, tidak akan membuat awan-awan bergerak yang mengerikan itu berhenti menghampiriku. Mengaung membisingkan telinga. Ngilu menusuk kepalaku. Aku tidak tahan.

WILAYAH TAK TENTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang