6. TERLAMBAT

74 26 18
                                    

Ruang kamar itu masih aku telusuri untuk menemukan sesuatu sebagai petunjuk dan bukan hanya diriku saja yang terlihat kebingungan. Ruangan ini terasa penuh dengan kengerian yang entah apa itu. Aku melihat dua pintu. Satu berada di sudut dekat meja rias dan satu pintu lagi bersembunyi di balik lemari besar. Mungkin saja pintu dekat meja rias adalah pintu untuk keluar dari kamar ini namun satu pintu lagi kurasa Rafa berada di dalamnya. Aku berbisik kepada yang lain untuk mengikutiku membukanya. Dengan langkah tipis, kami pun berjalan menuju pintu yang ada di dekat lemari tepatnya di pojok ruangan ini.

"Ehem!"

Setitik suara mengejutkan, hingga kami kemudian menoleh ke belakang. Terlihat sangat jelas dan aku tatap matanya. Dia tersenyum menyeringai menatap tajam mataku. Gaun berwarna putih kombinasi ungu dengan beberapa variasi renda serta lekukan pada bagian lengan yang membuatnya terlihat berkuasa. Rambut panjangnya terurai, kuku hitam yang panjang dan lentik, serta kulit putih bersih dengan sepatu highheels berwarna hitam. Itu Seala! muncul kembali dengan penampilan yang berbeda. Hingga sampai detik ini pun aku benar-benar bisa memastikan dia-lah yang membuat kami semua terjebak di sini.

"LARI!!!" Setyo meraih tangan Rani kemudian berlari menuju pintu dekat meja rias.

Dibukanya pintu itu, dan benar! Itu pintu keluar! Rendra menitipkan salam kepada Setyo untuk menyusul kelompok ke dua agar segera menolong mereka. Dari kejauhan Setyo dan Rani mengangguk lalu meninggalkanku dan Rendra di sini. Sesaat kami terperangah karena Seala membiarkan Setyo dan Rani pergi. Menandakan bahwa memang kami berdua lah yang telah diincarnya. Tetapi laki-laki pada gudang itu mengatakan Bael yang menginginkan kami, bukan menyebutkan nama Seala.

"Kalian belum sadar bahwa kalian mempunyai hal seperti ini?" Ujar Seala sembari mengangkat tangan kanannya lalu muncul sedikit kobaran api berwarna hitam pada telapak tangannya.

Semakin terdiam diriku yang tidak mengerti apa yang dia maksud. Kulihat dengan nyata kekuatan sihir ada di depan mata. Rendra segera memegang kedua pundakku untuk menenangkanku namun semakin kurasa genggamannya lagi-lagi terasa semakin erat dan itulah dimulainya kemunculan amarahnya. Aku hanya mengernyit menahan sakit cengkeramannya lalu kulihat perlahan matanya.

Pupil matanya perlahan berubah warna menjadi merah dan bercahaya. Raut wajahnya semakin menjadi! begitu dengan kedua tangannya yang masih berada di pundakku. Ada apa dengannya?

"Rendra! Ren! Dengarkan aku! Rendra!! " Dia tidak mendengar panggilanku. Dia terus saja menatap Seala. Semakin Rendra melihatnya semakin tertawa dia.

-----*-----

"Sudah jam 20.46 apa mereka baik-baik saja?" Suaraku memecah hening.

Kurasa kami di sini memiliki pemikiran yang sama untuk segera menyusul kelompok pertama. Setelah bersiap, kami akhirnya memutuskan untuk menyusul meski pun waktu belum tepat 3 jam seperti yang Rendra tentukan.

Cahaya senter kami nyalakan kembali untuk ikut menelusuri jalan kami. Sampailah pada gerbang yang terbuka lebar lalu memasukinya hingga kami berada di lapangan dan halaman. Senter aku arahkan ke sana kemari, kulihat yang lain juga berjalan saling berdekatan.

"Hei! Apa itu yang dikatakan Setyo tentang Ardi? Dia masih di sana, " Ucapku saat cahaya senter aku arahkan ke sebuah gedung.

"Riski!" Sapa Setyo berlari mendekat.

Aku sapa balik dia. Keringatnya terlihat jelas mengucur deras. Ada beberapa bercak darah di lengan bajunya dan kini mulai terlihat sangat lelah raut wajahnya. Dia datang dengan terengah-engah sembari mengatakan bahwa Merli dan Rendra sedang dalam bahaya. Disusul Rani di samping Setyo, dia menjelaskan keadaannya kepada kami.

"Ikut aku!"

Akbar memandu kami dalam gelapnya malam dan dinginnya suasana. Berlari mengambil sisi kiri gedung utama. Terlihat Akbar bertanya sesuatu kepada Setyo lalu kami berdiam sejenak di depan gedung kecil.

"Lewat sini," Ujar Setyo mengarahkan.

Kami saling bergandeng tangan lalu dengan satu langkah yang diambil Akbar terlebih dahulu, dalam sekejap kami berpindah tempat. Kedua kalinya aku berpindah tempat hanya karena mengikuti langkah Akbar. Kami seperti menembus dinding. Ada sesuatu di balik sesuatu.

Di sini cahaya remang-remang, dari balik pintu yang sedikit terbuka, aku melihat Merli dan Rendra sedang berbicara dengan seseorang. Semakin aku intip ke dalam ruangan bersama dengan yang lain. Terlihat sangat jelas Merli sangat gelisah sembari menggoyangkan tubuh Rendra namun diabaikannya.

"Merli! Rendra!" Panggilku lantas membuka pintu lebar-lebar.

"Riski?! Dia... " Merli menoleh ke arahku dengan mata berkaca-kaca.

Segera untuk menghampirinya tetapi ada hal yang janggal. Rendra seperti akan memukul sesuatu dengan sangat keras pada sesuatu di dekat pintu. Sekelibat aku melihat mata Rendra bercahaya dengan warna merah. Dia kenapa?!

"Riski tolong!" Teriakan Merli menepis pemikiranku.

"Rendra!!! " Merli berteriak untuk kedua kalinya.

Kudapati mataku melihat ada cipratan darah pada leher Rendra. Dia tersungkur sangat keras di hadapan Merli. Semakin menjadi tangis Merli keluar. Saat itu juga aku melihat ada samar-samar bayangan putih menghampiri kami. Hilang lalu ada, hilang lalu ada, hingga seperti ada hembusan angin yang melaluiku bersamaan dengan bayangan putih itu.

"Rendra bangun--" Teriakan Merli yang ketiga kalinya kemudian hening.

Pandanganku teralihkan dari bayangan putih yang melewatiku. Senter yang aku genggam terjatuh. Tanpa kusadari, tubuh Merli mengeluarkan darah semakin lama semakin banyak. Dia terjatuh dengan dada, hidung dan mulut penuh darah. Matanya terpejam sangat erat.

"Sial!! " Pekik Akbar berlari melewatiku yang terperangah.

Dia langsung menghampiri Merli dan Rendra lalu berusaha untuk menghentikan pendarahan mereka. Aku menghampiri dan melihat keadaan mereka berdua. Lagi-lagi aku terdiam melihat luka yang ada pada leher Rendra dan Merli. Luka yang sangat dalam dan semakin membiru pucat tubuh mereka. Masih heran terluka karena apa mereka berdua jika bukan karena bayangan putih yang berlalu sebelumnya?

"Bangun Rendra! Kamu dengar aku?! Bangun! " Setyo menepuk-tepuk pipi kanan Rendra cukup keras.

Tidak ada respons sama sekali. Semakin pucat wajahnya begitu dengan Merli. Pendarahan pada tubuh mereka berdua tidak bisa dihentikan meski ditutup kain yang dibawa Akbar.

"Kita kembali keluar dari sini, firasatku buruk sekali," Akbar segera bangun dan menggendong Merli.

Rendra digendong belakang oleh Setyo. Aku mengawasinya di belakang dengan Rani yang menangis sedu tanpa henti serta Dewi dengan wajah takut yang berusaha dia sembunyikan namun terlihat sangat jelas. Sekarang aku mengerti bagaimana mengerikannya apa yang diceritakan Setyo sebelumnya. Lalu aku masih penasaran dengan mata Rendra yang berwarna merah. Apakah itu juga salah satu penyebabnya? Lalu apakah masih sempat kami menolong nyawa mereka berdua dengan keadaan dunia mengerikan seperti ini?

Andai saja dari awal aku bisa menepis keraguanku dan segera menghampiri Rendra serta Merli, mungkin saja kejadian ini tidak pernah terjadi. Andai saja dari awal kami tidak menuruti rencana Rendra dengan menyusul kelompok pertama ketika 3 jam belum kembali kami harus segera datang. Andai saja aku berani menentang keputusan Rendra dan ikut angkat bicara saat di hutan, aku rasa kejadian ini masih bisa kami cegah bersama.


WILAYAH TAK TENTUWhere stories live. Discover now