12. API

55 17 28
                                    

"Karena hal ini, yang jelas sekarang kita nyaris lupa dengan tujuan kita," ujar Rendra membuyaarkan keheningan kami setelah pertanyaan yang Mila lontarkan.

"Menemukan Rafa, bahkan kita tidak tahu sekarang dia ada di mana setelah kita di ombang ambing seperti ini," timpalku.

"Em.. Bagaimana kalau kita keluar dari lorong ini? Kurasa sudah tidak ada bahaya lagi," timpal Dewi sembari mengendap-endap untuk menengok ke luar dari ruang kecil yang menjadi lorong.

Kami mengangguk. Dewi memberi isyarat bahwa semuanya aman. Perlahan kami keluar secara mengendap-endap. Angin malam membuat kami semakin kedinginan, berhembus begitu lembut membuat kantuk mulai datang kepadaku. Bagaimana tidak? setelah lelahnya mengalami semuanya, mustahil bagiku untuk tidak merasakan lelahnya tubuh ini.

"Kalian berdua tahu kita harus kemana?" tanya Akbar di belakangku dan Rendra.

"Kiri,"

"Lurus,"

Aku dan Rendra saling menatap. Ada apa ini? Pertama kali kami berbeda pendapat, aku merasa kami harus ke kiri, namun Rendra lebih memilih ke jalan lurus.

"Hei! kenapa harus ke kiri?" tanya Rendra lalu mendekatkan wajahnya kepadaku untuk menatap tajam kedua mataku.

"Kenapa juga harus lurus? Di sana kelihatan hutan lebat! Siapa tahu makhluk seperti tadi ada di sana," ujarku.

"Tetapi di sana juga terlihat bukit lagi, siapa tahu dari sana kita punya jalan keluar?" timpal Rendra.

"Jadi kita harus kemana..." sahut Mila memisahkan perdebatan kami dan berdiri di antara kami.

Bleer! Bleer!

"Makhluk itu! dia muncul lagi?! atau ini makhluk yang lain?" teriak Dewi.

Kami menoleh ke arah di mana sebelumnya makhluk itu mengejar kami. Kami berlari, ya! Kali ini benar-benar berbeda arah. Aku tidak sejalan lagi dengan Rendra. Ada apa ini? Aku merasa sedih tidak sependapat dengannya, ada apa ini? Aku merasa ada yang salah pada pilihannya, jadi aku akan terpaku pada pilihanku dan sekarang, aku dan Rendra benar-benar berbeda.

Aku berlari sekuat tenaga, Riski berada di depanku, Rani berada di sampingku. Dewi, Tidak! Dia paling belakang.

"Kurasa kita jangan berteriak," ujarku masih dalam keadaan berlari.

"Kenapa?" tanya Rani.

"Kurasa itu yang akan membuat makhluk menjadi tertuju ke kita!" jawabku.

"Kamu benar Merli," sahut Riski.

"Tapi Dewi di belakang," ujar Rani menunjuk.

"AAAAAA! AAAAAA! MER! TOLONG!"

Tidak! Aku tidak berani menoleh ke belakang! Padahal aku mendengar Dewi menjerit. Aku takut!

"Merli! Lihat Dewi! Merli!!" ujar Rani menarik-narik pundakku agar aku menoleh ke belakang.

Kenapa denganku? Kenapa aku takut untuk menoleh ke belakang?

Jraaak!! Jraaak!!

"D-Dewi," ucapku pelan dan berhenti berlari.

Rani dan Riski sudah jauh dariku, mereka tetap berlari. Kini, aku terpaku melihat Dewi di cabik-cabik oleh makhluk itu. Kukunya panjang sekali, tubuh Dewi hancur.

"Merli! Lari!!" teriak Riski.

Aku tidak bisa bergerak. Kakiku gemetar membuatku terjatuh. Kuku tajam makhluk itu penuh darah, Dewi yang sudah hancur tetap di sana.

'Dia memandangku!' batinku.

Makhluk itu kini melihatku. Berjalan perlahan ke arahku yang terduduk lemas menatapnya. Aku putus asa, aku takut, aku bingung apa yang harus aku lakukan, apa aku akan kembali untuk mati? Apa aku akan kembali kepada ruang putih itu dan tidak pernah kembali? Aku takut, aku takut, aku takut, benar-benar takut.

WILAYAH TAK TENTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang