5. SEBUAH RENCANA

79 26 9
                                    

Kami terengah-engah setelah menemukan tempat persembunyian yang tepatnya di bawah pohon sangat besar dengan dedaunan sangat lebar.

Suasana sunyi dan sejuk, cahaya matahari menembus dedaunan pohon hingga terasa sangat tentram namun keringat yang mengalir ini, membuatku merasa sangat lelah, seperti nyaris putus asa dengan ketidak masuk akal ini.

"Sial!" Celetukku mengusap keringat pada wajahku.

"Ponselku bergetar, sepertinya ada sinyal! Tuh kan! Aku kabari yang lain dulu!" Setyo menghampiriku dan Rendra sembari menunjukkan layar ponselnya.

Ada perasaan lega pada hati ini. Setyo memperlihatkan bahwa dia mengirim pesan pada salah satu teman kami yang juga ikut acara berkumpul namun tidak datang. Kami menunggu dan ternyata tidak ada balasan sama sekali.

"Kita istirahat dulu sambil berpikir bagaimana caranya keluar dari keadaan seperti ini," Rani memberi saran dan bersandar di batang pohon tempat kami berhenti.

Bayangan dalam gelap itu terngiang. Lina dengan luka lebamnya kutinggalkan di sana, kejadian Ardi juga kutinggalkan di sana seperti lari dari tanggung jawab. Rendra beberapa langkah menjauhi kami, dia mengambil dedaunan kering yang jatuh seakan meneliti sesuatu. Menoleh ke kanan ke kiri lalu melangkah kembali hingga tubuhnya tertutup oleh pepohonan. Aku tidak peduli lagi mungkin saking lelahnya pikiranku, aku tetap bersandar di bawah pohon besar ini. Aku tekuk kedua kakiku dan kusembunyikan kepalaku di antara lututku. Lagi-lagi air mataku mengalir tanpa kusadari, penatnya benakku membuatku semakin lelah apalagi memikirkan bagaimana caranya keluar dari sini. Mungkin aku harus istirahat sebentar.

Angin sepoi-sepoi menerpa tubuku dengan lembut, seakan menghiburku agar aku tidak putus asa tentang semua hal ini. Hari itu tidak terasa sudah memasuki pergantian siang dan malam. Rendra belum kembali tetapi tidak ada rasa khawatir di hati, dia pasti baik-baik saja. Perlahan cahaya bulan terlihat dan bintang-bintang menunjukkan eksistensinya.

Ada cahaya yang mengarah ke posisi kami. Rendra datang namun cahaya itu bukan berasal dari dia. Seperti cahaya senter berwarna putih sedang menyorot kami. Aku lantas berdiri, waspada dengan siapa yang akan datang. Langkah kaki yang berlari menabrak reruputan dan ranting pohon terjatuh itu telah aku dengar jelas. Cahaya itu semakin dekat dan aku melihat beberapa orang sedang menghampiriku.

"Akbar, Dewi, Riski, Mila?! Apa kalian datang untuk kami?" Sapaku menghampiri mereka dan segera memeluk Mila.

Terlepas bagaimana bisa mereka sampai di sini dan berhasil menemukan kami, tidak akan aku tanyakan. Bertemu mereka saja sudah cukup untuk sedikit menghilangkan pikiranku yang kacau ini.

"Merli kamu baik-baik saja?" Tanya Mila melepas pelukanku dan menatap mataku.

"Ya! Yang kamu lihat di sini semua baik-baik saja. Tetapi Lina... dia dengan mudahnya terbunuh tanpa sepengetahuan kami," Lirihku menangis lantas dipeluknya lagi aku oleh Mila.

Pada akhirnya, Setyo menceritakan semua kejadiannya. Di tengah bercerita, langkah Rendra akhirnya sampai di hadapanku sembari mengacak-acak rambut yang sedikit bergelombang.

"Aku punya rencana,"

Ucapnya sembari duduk bergabung dengan kami kembali. Isak tangis yang sebelumnya hadir perlahan mereda. Kami memposisikan duduk kami senyaman mungkin untuk segera mendengarkan rencana apa yang telah disusun oleh Rendra.

Matanya tajam menatapku dan yang lain seakan menandakan kami harus mendengarkan baik-baik apa yang akan dia katakan. Dengan kayu kecil yang kokoh, perlahan dia menggambar sebuah jalan dan beberapa gedung pada tanah, kemudian berhenti dan menjelaskan rencananya. Kulihat lagaknya seperti seorang guru sedang mengajar, tegas cara bicaranya dan gerakan tubuhnya.

WILAYAH TAK TENTUWhere stories live. Discover now