20. DIMENSI

23 8 0
                                    


Semua hal memang hanya bisa menimbulkan angan dan harapan namun untuk menjadi nyata... Kurasa itu sedikit mustahil. Terutama harapan tentang seperti hidup kembali setelah mati.

"Aku ingin jantungmu, jantung kalian berdua!" Siren menghindari beberapa serangan dari Merli.

Wussh!! Wussh!!

Sayap dikibaskan begitu kuat, membuat debu terangkat menyebar, dan daun-daun pepohonan bergoyang cepat. Angin dari sayapnya mengenai tubuhku, terutama wajahku hingga aku menyipitkan kedua mataku hanya untuk melihatnya.

"Jantung? Hahaha! Jika kamu memang bisa mengambilnya, ambil saja," balas Merli menyeringai.

"Merli!" panggilku.

Dia tidak mendengarku. Asyik mengibaskan sayapnya, memainkan kekuatannya, menikmati rasa saat matanya berubah dan menyerang terus menerus. Padahal sebelumnya dia terlihat begitu lemah tidak berdaya.

BRUAK!!! GRADAAAKK! DAK! PYAAR!!

Gedung itu, hancur seketika. Aku mengalihkan pandangan dari Merli dan Siren. Bahkan dalam keadaan ini Merli tak berhenti untuk menyerang Siren. Suara serangannya terdengar meski pandanganku tertuju pada gedung—yang sudah hancur—itu.

Cimeries terlihat babak belur, lalu untuk Akbar napasnya terengah-engah. Keringat yang mengalir di wajahnya terlihat dan ada beberapa sayatan yang membuat darah mengalir tipis di setiap bagian tubuhnya.

Debu sudah pergi. Saat itu juga aku masih terpaku.

"Ibu?" ucap Akbar terdengar olehku.

Tatapanya terpaku pada Merli. Dengan lengahnya Akbar, Cimeries masih saja belum menyerah, dia mengangkat cambuknya dan mengenai Akbar. Membuat dia jatuh tersungkur dan membuat kepalanya berdarah.

Lalu, Apa maksudnya dia memanggil Merli sebagai Ibunya? Aku semakin terdiam dan heran. Dunia ini rumit! Bahkan temanku juga!

"Maksud—" aku membuyarkan diriku yang terdiam dan melangkah menghampiri Akbar, tapi ucapanku terpotong.

"IBU!!" Akbar memanggil Merli dengan sebutan itu lagi lebih keras.

Dia merangkak mendekati Merli yang sempat berpijak. Cimeries, dia sesaat berhenti menyerang dan membiarkan Akbar merengek serta kesakitan.

"AHAHAHAHAHA! HUWAHAHAHAHA!"

Tawa Merli begitu keras. Serangannya mengenai Siren hingga dia... benar-benar tidak bisa berkutik untuk menangkis serangan Merli.

Mengaggumkan—maksudku—dia hebat. Darah segar itu muncrat kemana-mana dan itu membuat Merli semakin tertawa keras dan serangannya semakin cepat.

JRAAAKKK!

Semua terdiam. Begitu juga aku kembali untuk terdiam. Cara yang begitu cepat untuk Cimeries berada di sana. Bahkan dalam pergerakan secepat itu dia bisa menembusnya dan besi yang aku rasa pernah melihatnya sebelumnya telah dia tancapkan pada punggung Merli.

"MERLI!!" teriak Rani sangat keras.

"Hei Rendra! Kenapa dari tadi kamu diam saja?!" bentak Riski padaku dengan langkah panjangnya.

"Bagaimana caraku membantunya? Bahkan yang aku lihat sekarang, dia seperti bukan Merli!" bentakku balik sembari menunjuk Merli dan menatap tajam-tajam mata Riski.

"Lihat matanya! Semarah apapun dia, aku tidak pernah melihatnya segila itu!" lanjutku lagi lalu menurunkan tanganku.

Riski hanya diam dengan wajah mengernyit kesal. Dari pertanyaan Riski aku sudah kacau, melihat Merli seperti itu, dia sekarang mirip dengan iblis tak waras. Kelihatannya memang seperti itu dan bibirku sudah tak bisa berucap akan perubahannya.

WILAYAH TAK TENTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang