14. KETEMU

24 12 2
                                    

"Jalan kembali memang lebih cepat ya," ujar Rani.

"Aku juga merasa seperti itu," sahut Setyo.

Di antara pepohonan yang tinggi. Ada satu jalan bebatuan yang menuntun langkah kami lebih cepat dari jalan setapak sebelumnya. Bising serangga dan binatang lainnya tidak terdengar. Lebih ke sunyi dan hening.

Rerumputan yang tingginya sebahu, sedikit mengganggu jalan kami. Hanya langkah kaki terdengar dan ucap berucap dari bibir kami. Aku berada paling belakang, mereka tidak menyadarinya karena tidak ada yang berani untuk menoleh ke belakang. Namun beda denganku, malah aku paling sering menoleh kanan-kiri dan belakang. Bukan berarti was-was, aku hanya suka rindang suasana.

"Merli di belakang?" ujar Akbar berjalan di belakang Rendra yang memimpin.

Berjalan berbaris.

"Ya, aku bisa melihatmu," jawabku.

"Bisakah kalian sekali saja menoleh ke belakang?" lanjutku sembari menghindari batu-batu besar.

"Hah?" timpal Setyo nyaring.

"Soalnya dari tadi aku noleh ke belakang tidak terjadi apa-apa,"

Buuk!!

Aku menabrak Setyo yang tiba-tiba dia berhenti. Saat aku mengangkat kepalaku, mereka menatapku.

"Merli... Kamu ini!!" ujar Rendra menghampiriku lantas menyentil dahiku dengan keras.

"Iih! Lah emang gak ada kejadian apa-apa kan? Masa iya di dunia ini kita salah mulu. Kan enggak, iya kan Akbar?" aku mengelus dahiku.

"Ya kamu benar," sahut Akbar.

"Kenapa gak bilang dari tadi...! aku khawatir sama mereka yang di belakangku, tahu gitu tadi aku bisa lihat keadaan mereka," kesal Rendra.

"Lah kamu takut lihat ke belakang berarti?" ujarku.

"Takutku bukan untukku, tapi kalian,"

Kami tertawa. Gurauan terdengar di tengah-tengah hutan ini. Posisi Rembulan kini sudah mulai turun, hanya terlihat setitik tubuhnya karena beberapa daun pepohonan. Sedikit suara bising mulai terdengar. Suara air, bukan air terjun,sungai, melainkan seperti hujan. Entahlah, di sini tidaklah hujan. Kami mengabaikan suara itu.

Kami tetap berjalan. Ponsel kami sudah tidak bisa menyala karena daya yang habis. Berhenti sejenak, saling berpegangan tangan dengan aku, Rani, Mila berada di tengah. Sudah tugasnya laki-laki melindungi perempuan.

Mengikuti insting, sedikit cahaya rembulan membantu penerangan. Entah, kupikir mengapa kita sangat lama untuk sampai pada tempat yang dimaksud Akbar.

Beberapa langkah, kami menginjakkan kaki pada lahan kosong. Ada satu lampu berwarna putih di sana. Ya! Itu gedung yang dimaksud terlihat kembali. Kuharap makhluk itu sedang tidur saat ini. Namun siapa sangka juga, biasanya makhluk seperti itu malah aktif pada langit gelap atau malam hari.

Tetap tenang. Berjalan mengendap-endap saling berpegangan tangan. Jika aku merasa takut dan tertekan, kuharap sesuatu di dalam diriku tidak muncul dan membuat perhatian kepada monster keparat itu.

"Pintunya kembali seperti semula," ucapku.

"Aku yang membuatnya seperti itu," jawab Akbar santai.

Dia mengangkat tangannya dan membuka pintu itu tanpa menyentuhnya. Gelap lorong itu di hadapan kami, saat Akbar memulai melangkah masuk, lampu di sepanjang lorong menyala, dan kami berjalan di dalamnya. Tidak ada ventilasi udara, hanya dinding lorong yang panjang.

Kami menemukan titik terang, sebuah pintu di temukan dari ujung lorong ini. Lagi lagi Akbar membukanya dengan kekuatan kecilnya. Beberapa lampu tiba-tiba menyala. Memberi suasana remang dengan cahaya putih bercampur oranye.

WILAYAH TAK TENTUWhere stories live. Discover now