3 | Farewell

10.6K 752 12
                                    

Setelah mengurus administrasi hotel, mereka pun naik ke kamar Jena di lantai 4. Kamarnya lumayan luas dengan wallpaper berwarna putih gading, meja kayu dengan kursi berwarna krem, tv flatscreen yang digantung di dinding, jendela di sepanjang dinding di sebrang pintu masuk, tirai jendela coklat bergari-garis, dan sofa panjang empuk berwarna abu-abu.

"Saya pakai kamar mandi duluan ya," kata Jena.

Setelah Jena masuk ke kamar mandi, Dika meletakkan ranselnya di lantai di sebelah sofa panjang. Sebenarnya sofa itu tidak terlalu panjang, dia sadar kakinya pasti akan menjuntai melebihi panjang sofa itu, tapi ini jauh lebih baik daripada mencari hotel di tengah badai. Tak lama kemudian Jena keluar dari kamar mandi. Dia menatap Dika lalu tampaknya berpikir keras.

"Kamu tidur di kasur, biar saya yang tidur di sofa."

"What?! No! Ini kamar kamu, kamu yang tidur di kasur. Lagipula apa kata dunia nanti kalau saya membiarkan seorang wanita tidur di sofa sementara saya tidur di kasur."

Jena tertawa mendengarnya. "You don't have to tell the world, you know. Well, I think we have to share the bed, then. If you don't mind. Kaki kamu nggak akan cukup kalau kamu tidur di sofa itu, asal kamu tahu saja." Dika tidak mempercayai keberuntungan yang dimilikinya sampai bisa bertemu wanita seperti Jena.

"Yaaah, kalau kamu maksa saya bisa apa? Kamu nggak ngorok kan kalau tidur?"

"Ya nggak lah, enak aja. Mandi sana!" kata Jena sambil melempar bantal ke arah Dika yang ditangkap dengan sempurna olehnya dan dilemparkan lagi ke arah Jena. Telak menghantam mukanya. Saat Jena akan melempar bantal lagi Dika sudah masuk ke kamar mandi dan menutup pintunya. Setelah Dika keluar dari kamar mandi, Jena sudah berbaring di tempat tidur. Dika naik ke tempat tidur, mematikan lampu, dan mencoba untuk tidur.

Jena tidak bisa tidur, dia hanya memandangi jendela sambil memikirkan kejadian hari itu. Dia tidak habis pikir kenapa dia bisa merasa senyaman itu dengan Dika, seperti mereka sudah saling mengenal dalam waktu yang lama. Mengobrol seharian menceritakan kehidupannya. Dan Dika sama sekali tidak pernah memotong pembicaraannya ataupun menertawakan mimpi-mimpinya yang agak kelewatan. Dia benar-benar pendengar yang baik. Tatapan Dika padanya terasa sangat menentramkan, seperti Dika ingin sekali melindungi Jena.

Seberkas sinar yang muncul di sebelahnya membuat Jena menoleh ke arah Dika. Ternyata dia belum tidur juga dan sedang memainkan game di ponselnya.

"Sorry. Bangunin kamu ya?" tanya Dika sambil menaruh ponselnya di nakas.

"Saya belum tidur kok dari tadi."

"Mikirin apa?"

"Mikirin kamu."

Jena bisa mendengar Dika menarik napas tajam saat mendengar ucapannya. Dika lalu duduk bersila di atas kasur menghadap ke arah Jena dan menyalakan lampu di meja kecil di belakangnya.

"Well, I feel honored. Tapi ada apa dengan saya?"

Jena tidak tahu harus bagaimana. Dia tidak tahu apa yang dirasakannya. Dan dia juga tidak tahu bagaimana menjelaskan semua itu pada Dika.

"I don't know. Entah kenapa saya merasa nyaman sama kamu. And it's weird, you know. Kita baru aja ketemu tadi pagi kan. Tapi kamu dengan mudahnya bikin saya lupa sama semua kesedihan saya. Rasanya sudah lama sekali terakhir kali saya bisa tertawa lepas seperti hari ini. I thank you for that, but it just feels wrong."

TROUVAILLEWhere stories live. Discover now