32 | Gerimis Mengundang

5.2K 358 8
                                    

Beberapa hari sudah berlalu sejak Jena bertemu lagi dengan Dika. Dan perasaannya yang kacau balau, masih kacau balau. Pekerjaannya tidak selesai, tidurnya tidak nyenyak, makannya tidak teratur, dan asmanya mulai sering kambuh. Semua itu membuatnya sedikit frustrasi.

Dia tahu hal ini tidak luput dari perhatian Yoga dan Celia yang setiap hari bertemu dengannya di kantor. Untung saja kemarin Mama berangkat ke rumah Tante Monic di Lampung, sehingga tidak ada yang menggerecokinya juga di rumah.

Hari ini seperti biasa, Yoga dan Celia duduk di kantor Jena sebelum mereka pulang untuk mengevaluasi pekerjaan hari itu. Jena menyadari bahwa Yoga dan Celia sering berbisik-bisik selagi dia lengah. Awalnya dia mengabaikan mereka, tapi lama kelamaan kesabarannya habis. Mood-nya hari ini memang sedang jelek tingkat dewa. Reina tidak masuk kerja sehingga tidak ada yang membantunya menyelasaikan pekerjaan. Ditambah lagi dia mulai terserang flu sehingga kepalanya sakit sejak pagi tadi.

"Kalian ngomongin apa sih? Kalau emang mau ngomong berdua ya bilang aja, biar Mbak yang keluar," katanya dengan sinis.

"Nggak, Mbak. Baper amat sih."

"Jangan-jangan pada ngomongin Mbak ya?" todongnya.

"Kalau iya kenapa, Jei?"

"Mas! Ih!" bisik Celia memperingatkan Yoga tentang entah apa.

"Kalau iya, mendingan kalian ngomong aja langsung, nggak usah bisik-bisik di belakang gue." Nada bicara Jena mulai meninggi sekarang.

"Iya, kita ngomongin lo," kata Yoga dengan santainya.

Jena menatap dua orang di depannya dengan tidak percaya. Yoga pura-pura asik membaca dokumen di tangannya, sedangkan Celia hanya menunduk menatap gelas jusnya yang sudah kosong, tidak berani menatap matanya.

"So what's wrong with me? What problem I make now?" Jena kehabisan kesabaran.

Yoga menaruh lembaran kertas di meja dan bertanya, "Why are you so angry?"

Jena tidak menjawab pertanyaan itu, maka Yoga melanjutkan. "Ok. Jadi gini, beberapa hari yang lalu Marsha telepon Celia."

"Marsha? Marsha mana?"

"Marsha Wibisana lah, Mbak. Memangnya ada berapa Marsha yang mbak kenal?"

"Mau apa Marsha telepon kamu?"

"Dia bilang lusa Mas Dika bakal berangkat ke Perancis. Dia ada tawaran kerjaan di sana dan rencananya Mas Dika bakal tinggal di sana kurang lebih satu tahun." Jena terdiam sesaat mendengar ucapan Celia.

"Terus apa hubungannya sama gue?" Jena berkata lalu meminum tehnya untuk menyembunyikan kegugupannya. Tentu dia sudah tahu jawaban dari pertanyaannya.

"Hubungannya sama lo adalah, kalian masih punya cinta yang dulu kalian share sama-sama. Dan lo harusnya cegah dia sebelum dia pergi lagi kayak dulu."

"We've done this once, Ga. Dan gue nggak peduli dia mau pergi ke Perancis kek, ke Roma kek, atau kemana lah. Gue dan terapis gue udah kerja keras buat bersihin otak gue dari yang namanya Mahardika Marsh! Dan elo, kalau lo masih ngaku sebagai sahabat terbaik gue, harusnya lo bantu gue, bukannya malah bertolak belakang sama gue!" Jena berdiri dan nyaris berteriak saking kesalnya. Dia tidak habis pikir kenapa Yoga tidak mendukungnya.

"Mbak, udah..."

"Bohong besar kalau lo bilang lo nggak peduli. Hati lo masih cinta sama Dika, cuma otak lo selalu nolak fakta itu! I've known you for twenty six years, dan gue tahu hati dan otak lo tuh nggak sinkron saat ini!" Yoga pun mulai menaikkan nada bicaranya.

TROUVAILLEWhere stories live. Discover now