27 | Rangga dan Papa

4.6K 328 7
                                    

A/N : Ok, mungkin chapter ini akan sedikit terlalu gore dan triggering untuk sebagian orang. I've warned you for that.

-------------------------------------------

“Mas, aku takut Mbak Jena depresi deh. Dia kan semenjak Mas Dika pergi jadi sering marah-marah, hal sepele aja bisa bikin dia meledak. Terus dia juga suka narik diri dari kita semua, jaga jarak banget sama orang-orang. Pokoknya sifatnya berubah drastis. Ini cuma aku atau Mas juga ngerasa gitu sih?”

Dua bulan sudah berlalu sejak Dika meninggalkan Jena. Hari ini adalah hari meeting bulanan Stardust. Semua kepala divisi berkumpul di kantor pusat. Setelah selesai meeting, Jena langsung mengurung diri di ruangannya, seperti biasa. Celia dan Yoga duduk berdua di ruangan Yoga, mengkhawatirkan Jena.

“Mas juga ngerasa gitu. Dan dari yang mas baca di internet, itu semua memang tanda-tanda depresi. Tapi Mas nggak tahu harus gimana menghadapi kakak kamu itu.”

Tiba-tiba saja pintu kantornya dibuka dengan brutal dan Dinda masuk dengan panik dan berteriak, “Pak Yoga! Pak, Ibu Jena, Pak. Dia pingsan di ruangannya.”

Meninggalkan sepiring rujak yang sedang mereka nikmati, Yoga dan Celia berlari ke ruangan Jena. Dinda salah, Jena tidak pingsan, dia hanya tergeletak di lantai sambil meringis kesakitan memegangi perutnya. Tanpa banyak kata Yoga langsung membopongnya ke mobil, membawanya ke rumah sakit.

Di rumah sakit, dokter yang memeriksa Jena menyimpulkan bahwa Jena menderita radang usus buntu dan harus segera dioperasi malam itu juga. Mama Dian yang langsung datang begitu ditelepon oleh Celia langsung menandatangani formulir persetujuan operasi. Jena diminta untuk berpuasa sampai operasi dilakukan malam nanti.

Yoga, Celia, dan Mama Dian duduk di ruang rawat Jena sementara Jena sendiri terbaring di ranjang, setengah tertidur. Dia sudah tidak kesakitan lagi, terima kasih pada obat pereda sakit yang diberikan dokter. Tidak banyak yang mereka bicarakan selama menunggu jadwal operasi Jena. Sampai saatnya dia didorong memasuki ruang operasi barulah Jena bersuara, meminta doa pada mereka semua.

Operasi usus buntu bukanlah operasi yang rumit dan resikonya tidak terlalu tinggi  seperti operasi otak atau cangkok organ, begitupun dengan operasi usus buntu Jena. Sekitar tiga jam setelah Jena dibawa masuk ruang operasi, seorang suster keluar dari ruang operasi. Dia mengatakan bahwa operasi Jena sudah selesai dan sebentar lagi Jena akan dibawa ke ruang rawat.

Tapi entah setan apa yang menghantui Jena sampai dokter bedahnya yang terlihat masih muda menghampiri mereka bertiga yang baru saja duduk di sofa ruang rawat inap Jena. Terpaksa mereka pun kembali berdiri dan mengabaikan makan malam yang teronggok di meja.

“Selamat malam, saya Dokter Gilang yang tadi mengoperasi Ibu Jenalea. Mohon maaf kalau boleh saya tahu saya bicara siapanya Ibu Jenalea?” tanya dokter itu dengan sopan.

“Saya ibunya, ini adiknya dan adik iparnya,” jawab Mama sambil menunjuk Celia dan Yoga.

“Oke. Sebelumnya saya beritahukan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari usus buntu pasien. Usus buntu yang meradang sudah kami angkat dan infeksi yang menyebar ke organ lain tidak terlalu banyak, hanya perlu pemberian antibiotik untuk beberapa hari kedepan. Hanya saja...” Dokter Gilang berhenti berbicara dan matanya malah menerawang, berpikir.

“Kenapa, Dok?”

“Apa pasien suka mengeluh nyeri saat haid?”

“Iya, Dok. Jena harus minum obat pereda nyeri setiap bulan karena kalau nggak dia nggak bisa beraktifitas,” jawab Mama mewakili mereka semua.

TROUVAILLEWhere stories live. Discover now