4 | Kangen

9.5K 698 11
                                    

Empat bulan sudah berlalu sejak pertemuan Jena dan Dika di London. Butik Jena sudah berkembang dengan pesat dan memiliki tiga cabang di Bandung. Dengan tidak adanya suami yang harus diurus, dia bisa fokus sepenuhnya pada bisnisnya. Dia sangat sibuk karena dengan bertambahnya cabang butiknya maka proses produksi harus lebih banyak dan lebih cepat, variasi barang pun harus ditambah.

Itu benar-benar menguras tenaganya. Ada kalanya dia harus begadang untuk menyelesaikan pekerjaannya. Tentu itu tidak baik untuk penyakit asmanya. Untung saja adiknya, Celia, bersedia bekerja di perusahaannya untuk membantunya. Dan harus Jena akui dia memang sangat membantu sehingga penyakit asma Jena yang sempat bertambah parah tidak sampai berakibat fatal. Sesekali dia bertukar kabar dengan Dika melalui pesan-pesan singkat, tapi tidak pernah berlangsung lama karena sepertinya Dika juga sedang sibuk.

Bagaimana dengan Dika? Dika juga dilanda kesibukan luar biasa di dunia perfilman. Dia didaulat untuk menjadi salah satu juri di sebuah ajang penghargaan film. Dan itu sangat menyita waktunya. Meeting dari pagi sampai malam, persiapan puncak acara yang menguras tenaga, dan bekerja dengan banyak orang yang berbeda karakter tentu saja menguras tenaga dan terkadang emosinya juga. Ditambah lagi proyek film barunya yang sudah memasuki proses reading. Bertukar kabar dengan Jena menjadi salah satu caranya untuk merefresh pikirannya. Dia sangat merindukan Jena dan ingin sekali bertemu lagi dengannya tapi itu harus menunggu sampai semua hal tentang penghargaan film ini selesai. Sebelum itu dia tidak akan punya waktu untuk bersantai.

Setelah ajang penghargaan film itu selesai, Dika mengambil cuti selama dua hari. Dia segera berangkat ke Bandung, tidak sabar untuk bertemu Jena. Dia berniat untuk memberi kejutan pada Jena. Dia sudah mencari alamat ketiga butik Jena di Instagram. Jena pasti berada di salah satu butiknya jadi dia akan mencarinya ke tiga tempat itu.

Dia mengendarai Land Rover hitamnya sepanjang jalan tol Jakarta-Bandung dan langsung menuju ke Jalan Riau, tempat salah satu butik Jena berada. Dia memarkir mobilnya, memakai topi untuk menyamarkan wajahnya, dan masuk ke butik. Butiknya tidak semewah butik-butik di sekitarnya tapi kesan homey langsung terasa begitu dia melangkahkan kakinya ke dalam butik. Dengan dinding didominasi warna putih dan kuning pastel, rak-rak dari kayu berwarna coklat pucat, dan sofa serta kursi-kursi kecil di setiap sudutnya membuat orang akan betah berada di dalamnya. Dia segera menghampiri gadis muda berseragam yang merupakan karyawan butik.

"Siang, Mbak."

"Siang, Pak. Bisa saya bantu?"

"Iya, saya cari Jena, dia ada di sini nggak ya?"

"Ooh, Ibu di PVJ. Kalau weekday dia stand by di sana. Eh, mas. Mas Mahardika Marsh kan? Boleh minta foto, mas?"

"Ok, tapi jangan kasih tahu yang lain ya, saya lagi buru-buru mbak."

Setelah mereka mengambil foto, seorang wanita muda menghampiri mereka. Wajahnya mirip dengan Jena, hanya saja pipinya lebih tembam dan matanya lebih besar daripada mata Jena. Dia juga lebih tinggi dari Jena yang puncak kepalanya hanya sebatas bahu Dika. Wanita itu melihat mukanya dan langsung mengenali Dika.

"Oh! Mas Dika. Sini sini mas, kita ngobrol di kantor. Di sini banyak orang." katanya sambil menggenggam pergelangan tangan Dika dan menariknya ke belakang butik, memasuki sebuah ruangan kantor kecil. Setelah mereka berdua masuk ke kantor, wanita itu melepaskan tangannya dan berdiri memandangnya dengan wajah berseri-seri. Sedikit menakutkan bagi Dika, dia tidak tahu siapa wanita itu, dia cuma bisa menebak bahwa wanita itu adiknya Jena.

"Erm, sorry, kamu siapa?"

"Oh iya! Aku Celia, adiknya Mbak Jena. Mas Dika cari Mbak Jena ya? Mba Jena di PVJ sekarang."

TROUVAILLEDove le storie prendono vita. Scoprilo ora