13 | Ngambek

6.2K 403 4
                                    

Keesokan harinya Dika ngotot menyuruh Jena untuk istirahat di rumah. Hari itu masih ada pemotretan tapi hanya tinggal beberapa pemeran pendukung. Dia mengatakan Celia pasti bisa kerja sendirian tanpa dibantu oleh Jena.

"Saya nggak apa-apa, Dika. Kamu dengar kan kata dokter, serangan kemarin bukan apa-apa, pakai inhaler juga sembuh. Saya sudah siapin baju yang cantik untuk hari ini masa nggak jadi dipakai?!" Jena berkata pada Dika sambil berkacak pinggang.

"No, saya nggak mau nganter kamu ke rumah sakit lagi, jadi, please, tinggal di rumah hari ini." Dika tetap pada pendiriannya.

"Udahlah Mbak. Sekali-sekali jangan keras kepala kenapa sih. Aku bisa kok sendiri. Hari ini kan cuma pemotretan beberapa orang, nggak akan sampai malam." Celia muncul dari dalam kamar dan berusaha menenangkan kakaknya.

"Okay. Saya tinggal di rumah sendirian hari ini! Saya bakal istirahat dan jangan kaget kalau saya nanti lupa makan karena saya bakal tidur seharian! Atau saya bisa bebersih rumah seharian dan nggak akan ada yang bisa ganggu saya!" Jena kesal diperlakukan seolah dia anak kecil.

"Siapa yang bilang kamu bakal sendirian? Saya di rumah hari ini. Saya akan memastikan kamu minum obat, makan sehari tiga kali, dan istiharat yang cukup supaya besok kamu sudah sehat lagi," ucap Dika dengan santai.

Jena ternganga menatap Dika. Dia tidak percaya ada orang yang benar-benar akan memperlakukannya seperti anak kecil yang masih harus diasuh seharian. Dia sudah siap-siap akan meledak lagi saat Celia buru-buru mengambil kunci mobil lalu berlari keluar sambil berteriak, "Aku pergi sekarang. Hati-hati, Mas Dika."

Dika menaikkan alisnya mendengar ucapan Celia. Dia kemudian menoleh ke arah Jena dan melihat Jena menatapnya dengan tatapan yang paling membunuh. Jena kemudian melengos pergi dan duduk di sofa. Dia memasang muka cemberutnya dan menatap layar tv tanpa benar-benar menontonnya. Dika menghela napas pelan lalu ke dapur untuk membuat sarapan.

Setelah selesai, dia menyodorkan piring berisi pancake dan secangkir teh pada Jena. "Your favorite breakfast. Especially made with love. Dijamin enak," kata Dika setengah memelas.

"Nggak usah ngerayu saya. Saya masih marah," balas Jena dengan ketus, tapi dia menerima juga sarapan yang dibuatkan Dika.

Dika mengambil piringnya sendiri kemudian duduk di sebelah Jena dan memakan sarapannya dalam diam. Setelah selesai makan, mereka masih duduk di depan tv dan Jena masih cemberut.

"Saya ngerti saya salah. Nggak seharusnya saya memperlakukan kamu seperti anak kecil begini. Saya minta maaf. Kamu mau maafin saya?"

Jena tidak menjawab, dia hanya menatap layar tv dan mendengus dengan keras.

"Kalau kamu mau maafin saya, saya punya sesuatu buat kamu." Dika tidak kehabisan akal.
Jena masih tidak menjawab, tapi dia melirik ke arah Dika sekilas.

"Ya, saya punya sesuatu buat kamu, dan kamu pasti suka." Dika tahu sebentar lagi permintaan maafnya akan mendapat approve dari Jena.

"Yakin banget kamu. Memang mau ngasih apa?" Dika tersenyum penuh kemenangan. Dia tahu dia telah memenangkan pertarungan ini.

"Sebentar." Dia berdiri lalu masuk ke kamarnya. Tak lama kemudian dia keluar lagi membawa beberapa lembar kertas lalu memberikannya pada Jena. Jena menerima kertas itu lalu melihatnya dan menyadari itu adalah tiket pesawat pulang-pergi ke Gorontalo untuknya.

Jena menengadahkan kepalanya dan melihat Dika sedang memasang senyumnya yang mempesona itu. "Minggu depan semua kru dan pemain film dapat libur tiga hari sebelum proses syuting dimulai. Kamu mau liburan sama saya kan?"

TROUVAILLEDove le storie prendono vita. Scoprilo ora