6 | Syarat

7.2K 595 5
                                    

Di mobil, Jena menelepon Celia dan menyuruhnya datang ke PVJ setelah menutup toko. Stardust yang di Riau dan Dago memiliki gedung sendiri sehingga bisa tutup lebih awal, tidak harus mengikuti jam tutup mall.

Setelah sampai di PVJ mereka kembali ke butik Jena dan menunggu kedatangan Celia. Sekitar satu jam kemudian Celia pun datang, bersama dengan Yoga.

"Eh, lo juga kesini, Ga?"

"Kan mobil Celia di bengkel, jadi gue dari Dago jemput dia dulu, eh dia minta anter kesini. Ada apa, sih?"

"Oya, kenalin ini Dika. Dika, ini Yoga. Kalau Celia sih kamu sudah ketemu kan?"

"Jadi ini nih the legendary Mahardika Marsh? Apa kabar, bro?" Yoga menyalami Dika dengan ramah.

"Baik, bro. Thank you."

"Jadi kenapa Mbak nyuruh aku kesini? Apa yang mau diobrolin? Kayak kita nggak akan ketemu di rumah aja."

Jena melirik ke arah Dika sekilas, dan melihatnya langsung memasang muka masam. Hhh, dia benar-benar tidak mendukungnya. Tapi biar saja, ini impiannya, dan bukan Jenalea Wijaya kalau tidak berjuang dengan keras kepala.

"Sambil makan yuk, biar enak ngobrolnya." Jena paling tahu kalau suasana hati Celia dan Yoga sangat bergantung pada kondisi perut mereka, mereka kenyang, semua orang senang. Mudah-mudahan Dika juga begitu.

"Yuk, gue juga lapar. Dimana? Foodcourt?"

"Jangan foodcourt dong. Banyak orang, ga enak kan makan sambil ngeladenin yang minta foto bareng."

"Ya sudah ikut gue yuk. Gue tahu restoran yang punya private room."

Setelah mereka memesan makanan dan menghabiskan makanan mereka, Jena mulai menceritakan tawaran yang diberikan Mas Angga dan Mbak Anggi. Celia bahkan langsung browsing di Google tentang kru wardrobe dalam produksi film. Yoga mendengarkan Jena dengan seksama, tapi Jena tidak bisa menebak raut mukanya. Dika? Ya, Dika masih saja memasang muka masam mendengarkan cerita Jena.

"Kita harus ambil, mbak. Bagus banget ini buat prospek kita."

"Bentar, Cel. Sebelum kamu menghasut kakak kamu, biar saya perjelas dulu. Bikin film itu nggak gampang. Butuh tenaga dan stamina yang luar biasa dari semua kru. Kita harus standby 24 jam selama berminggu-minggu selama proses syuting karena jadwal yang sudah dibuat nggak selamanya bisa berjalan mulus. Ditambah lagi kru film sudah harus menyiapkan segala sesuatu bahkan berbulan-bulan sebelum proses syuting dimulai. Dan film ini lokasi syutingnya di Jakarta, gimana dengan bisnis kalian di sini? Nggak mungkin kalian tinggalin berbulan-bulan, kan." Dika menjelaskan panjang lebar berharap Celia tidak sebodoh kakaknya dan menyepelekan kondisi kesehatan Jena.

"Dika..." Jena sudah siap untuk membantah argumen Dika lagi, tapi Celia memotongnya.

"Bentar, Mbak. Biar aku yang ngomong. Pertama, Mas Dika, Mbak Jena nggak akan sendirian, aku bakal ikutin kemana Mbak Jena pergi selama produksi film ini, aku akan pantau kondisi Mbak Jena dan aku janji aku akan paksa dia berhenti kerja kalau dia sudah kelewatan. Kedua, ada Mas Yoga di sini yang bakal urus semua urusan butik di Bandung. Memangnya Mbak Jena nggak pernah cerita kalau Mas Yoga juga bagian dari bisnis kita? Mas Yoga pasti mau dikasih tanggung jawab urus butik di Bandung. Iya kan, Mas?"

Yoga tampak berpikir keras dari tadi. Entah apa yang dipikirkannya. Apa dia memihak Jena atau memihak Dika?

"Kok lo diem aja dari tadi, Ga?" tanya Jena.

"Hmmm, gue ke toilet dulu. Dik, temenin gue, yuk."

"Astaga! Sejak kapan cowok-cowok pergi barengan ke toilet?" Celia berseru.

"Bentar doang kok. Udah kamu tunggu sama Jena aja."

Jena mengetahui alasan Yoga yang sebenarnya adalah untuk ngobrol berdua dengan Dika, sehingga dia tidak memberi komentar apa-apa. Dia masih belum bisa menebak keberpihakan Yoga. Dia hanya bisa berharap sahabatnya itu sadar bahwa ini adalah mimpinya, dan dia tidak akan berhenti apa pun yang terjadi. Lagipula dia punya dukungan Celia, orang paling keras kepala nomor dua setelah dirinya. Kita lihat saja apa yang bisa dua laki-laki itu lakukan melawan dua perempuan paling keras kepala di dunia.

¤¤¤¤

Yoga mengajaknya keluar dari restoran tapi tidak ke arah toilet. Saat itulah Dika sadar bahwa Yoga hanya ingin bicara dengannya tanpa didengar Jena dan Celia.

"Bro, gue tahu lo cinta sama Jena. Dan gue juga tahu lo kuatir sama keadaan Jena. Tapi gue kasih tahu lo, Jena dan Celia itu dua manusia paling keras kepala yang pernah gue temuin. Mereka nggak akan berhenti sebelum mereka dapat apa yang mereka mau. Jadi sekarang, setelah mereka bersatu padu menyatukan kekeras kepalaan mereka buat satu misi, gue saranin lo mundur."

Dika sudah akan membuka mulutnya untuk berargumen juga dengan Yoga, tapi Yoga mengangkat tangannya menyuruhnya diam. "Bukannya gue nggak peduli sama Jena. Gue juga sayang sama dia dan gue juga nggak mau dia kenapa-kenapa. Tapi lo bakal ada di sana sama dia, gue percaya lo pasti bakal ngejaga Jena, lo nggak akan biarin dia ngerusak badannya. Iya, kan?"

"Iya sih, tapi...."

"Dan kalaupun kita semua gagal ngejaga dia karena keras kepalanya yang luar biasa itu, lo bakal tetap ada di sana buat mastiin dia baik-baik aja. Lo bisa gue percaya, kan?"

"Pasti."

"Ya udah balik yuk, sebelum mereka ngira kita ngapa-ngapain di toilet."

Begitu mereka kembali ke dalam, Jena langsung mencecar Yoga dengan pertanyaan. "Udah bertapa di toiletnya? Udah mutusin lo mau berpihak kemana?"

"Nggak usah galak gitu dong. Sejak kapan gue nggak berpihak sama lo? Gue pasti dukung lo. Kalo enggak, bisa nggak direstuin gue sama Celia."

Dika lalu melihat Jena mengalihkan pandangan ke arahnya. Mengajukan pertanyaan dalam diam kepadanya. Setelah dia duduk dan memastikan Jena memfokuskan seluruh perhatian padanya, dia pun berkata, "Ok, saya memang nggak bisa ngelarang kamu buat memutuskan apa yang terbaik buat kamu, dan saya juga nggak bisa mematikan impian kamu selama ini dengan nggak memberikan dukungan buat kamu. Saya setuju kamu ambil tawaran buat jadi costume designer."

"Tapi?"

Dika menghela napas sebelum menjawab, "Tapi saya punya beberapa syarat buat kamu. Pertama, saya akan jadi pengawas kamu sebelum, selama, dan sesudah produksi film. Kedua, kamu harus janji kamu akan makan tiga kali sehari dan tidur minimal enam jam sehari mulai dari sekarang. Ketiga, kamu harus ajarin saya segala sesuatu tentang penyakit kamu supaya saya tahu apa yang harus saya lakukan kalau kondisi kamu drop, mudah-mudahan itu nggak terjadi. Dan yang terakhir, saya mau kamu dan Celia tinggal di apartemen saya selama kalian di Jakarta."

Jena, Celia, dan Yoga hanya manggut-manggut mendengar persyaratan dari Dika sampai syarat yang ketiga, tapi kepala mereka serentak menoleh ke arah Dika saat dia menyebutkan syarat yang keempat. Kata-kata Dika lalu disusul keheningan yang memekakan telinga.

Akhirnya Celia yang memecah keheningan itu, "Wah, Mas Dika benar-benar jatuh cinta sama Mbak Jena."

Sambil masih memandang lurus ke mata Jena, Dika menegaskan perkataan Celia, "Ya, saya jatuh cinta pada Jena sejak pertama kali kita ketemu di kampus." Itu dia. Dia akhirnya menyatakan perasaannya. Rasanya sangat melegakan, tapi sedetik kemudian dia ketakutan sendiri akan seperti apa reaksi Jena.

×××××××××××××××××××××××××××××××××

TROUVAILLEOnde histórias criam vida. Descubra agora