30 | Round Two

5.2K 366 34
                                    

Wanita itu tertawa, tawa yang sangat dirindukannya. Sepertinya Jena sehat dan bahagia. Mungkin Jena benar-benar menganggap bahwa dia tidak pernah ada dalam hidupnya. Semudah itu dia dilupakan. Tapi itu bagus, karena dia tidak memiliki niat untuk kembali pada Jena. Dia tidak akan bisa kembali pada Jena.

Dirinya kaget bukan main saat Yoga masuk ke ruang ganti membawa setumpuk pakaian di tangannya. Clothing line Jena pasti bekerja sama dengan majalah ini untuk menyediakan kostum pemotretan. Tapi dia tidak melihat Jena sampai Yoga tiba-tiba muncul lagi di depannya menggandeng tangan Jena, wanita yang paling dicintainya.

"Dik? Dika!" Mas Adri, fotografernya hari itu melambaikan tangannya di depan wajah Dika.

"Eh, iya Mas."

"Ngelamun aja lo hari ini. Kenapa sih?"

"Nggak apa-apa, cuma agak capek aja," dusta Dika. "Yuk, lanjut."

Mereka melanjutkan pemotretan sampai beberapa jam. Jena membantunya dengan segala urusan kostum tapi tetap tidak mau menatap matanya maupun berbicara padanya. Berbeda dengan Yoga yang dia kira akan meledak marah saat bertemu dengannya. Yoga tetap ramah padanya, bahkan sesekali bercanda seperti dulu saat Dika masih berhubungan dengan Jena. Biarpun begitu, tidak satupun di antara mereka yang membahas tentang masa lalu.

Yakin kamu benar-benar ingin mereka membahasnya, Dik?

Jam tiga sore pemotretan akhirnya selesai. Dika sudah mengganti bajunya dan bersiap untuk pergi dari studio pemotretan saat sebuah tangan mungil menyentuh bahunya. Jena.

Akhirnya wanita ini mau menatap matanya. Ya Tuhan, rasanya ingin sekali dia mendekap wanita ini dalam pelukannya, menciumnya seperti dulu, dan memenuhi hidungnya dengan sampo Jena yang beraroma jeruk. Mengingat semua kenangan indah mereka dulu dan melupakan kenyataan bahwa dia sempat merusak hati wanita ini.

"Bisa bicara?" tanya Jena dengan muka datar. Membuat Dika bertanya-tanya dalam hati apa yang dipikirkan oleh Jena.

Tapi itu tebakan yang mudah. Jena pasti ingin meminta penjelasan darinya kenapa dulu dia meninggalkannya. Dika sudah menduga salah satu dari Jena atau Yoga pasti akan angkat bicara. Mungkin sudah saatnya dia menjelaskan kenapa dulu dia pergi. Toh Jena terlihat baik-baik saja saat ini. Dia akan mengerti alasannya pergi dan mungkin bisa memaafkannya.

"Dimana?"

"Boleh ke apartemen kamu? Dekat kan dari sini?"

Masih datar.

"Boleh. Yuk, mobil saya di sana." Tanpa sadar Dika mengulurkan tangannya. Menunggu Jena meraih tangannya sampai dia sadar bahwa Jena tidak mungkin mau digandeng lagi olehnya. Dengan canggung dia menurunkan tangannya.

"Thanks, tapi saya sama Yoga."

Tetap datar.

Dika menghela napas pelan sebelum menjawab, "Ok."

Ini pasti akan menjadi sebuah pembicaraan yang emosional, setidaknya untuk Dika. Itu sebabnya Jena memilih apartemennya. Pembicaraan seperti ini akan berbahaya jika dilakukan di tempat umum.

Mereka tiba di apartemen Dika dan langsung naik ke lantai tujuh. Dika dan Yoga langsung masuk begitu Dika membuka pintu apartemennya. Tapi Jena sempat ragu-ragu di ambang pintu. Dika tahu ini pasti berat untuk Jena, begitu pula untuknya.

"Ayo, Jei. Eh Dik, gue ikut ke toilet ya. Nasi padang tadi siang langsung bereaksi kayanya," kata Yoga sambil memegangi perutnya. Yoga menaruh kunci mobil dan dompetnya secara asal-asalan di meja dapur kemudian masuk ke kamar mandi.

"Duduk, Jena. Mau teh?"

Jena duduk di kursi dapur dan menjawab, "Boleh."

Dika membuat secangkir teh untuk Jena dan dua cangkir kopi untuknya dan Yoga. Dia lalu duduk di kursi di sebelah Jena.

TROUVAILLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang