21 | Kiss Me Like That Night

5.6K 367 2
                                    

Keesokan harinya Jena berangkat pagi-pagi ke Jakarta. Dia akan ke apartemen Dika terlebih dahulu untuk menyiapkan makan malam dan membenahi isi apartemen yang mulai berantakan setelah ditinggal pergi Jena dan Celia. Dika memang memintanya tetap menyimpan kunci apartemen Dika biarpun dia sudah tidak tinggal di sana.

Jam empat sore Jena sudah berada di terminal kedatangan domestik Bandara Soekarno Hatta. Pesawat Dika seharusnya sudah mendarat lima menit yang lalu. Sebentar lagi Dika, Marsha, dan Bima pasti muncul.

Benar saja, tidak lama kemudian Marsha meneriakkan namanya dengan sangat lantang, menarik perhatian orang-orang di sekitar mereka.

"Marsha, damn it!" bisik Dika sambil menurunkan topinya, berusaha menutupi wajahnya.

Beberapa orang menyadari bahwa ada Marsha Wibisana dan Mahardika Marsh. Untung saja tidak ada yang fans garis keras mereka di sana. Orang-orang sekitar mereka hanya berbisik-bisik dan menunjuk-nunjuk, sebagian mengambil gambar dengan kamera atau ponsel mereka.

"Oh shit!" Marsha baru menyadari apa yang dilakukannya.

Dika, Marsha, dan Bima mempercepat langkah mereka. Dika bahkan tidak menyapa Jena dan langsung menyeretnya keluar begitu mereka sampai di tempatnya berdiri. Jena harus berlari kecil untuk mengimbangi langkah kaki-kaki panjang mereka bertiga sampai ke tempat parkir. Jena segera membuka bagasi mobilnya begitu mereka sampai di tempat parkir supaya Dika, Marsha, dan Bima bisa menjejalkan koper-koper mereka ke bagasi Brio Jena yang mungil. Lima menit kemudian mereka keluar dari lapangan parkir dengan Jena di belakang kemudi, Marsha di sampingnya, dan Dika serta Bima berdesakan di kursi belakang dengan dua koper yang tidak cukup dimasukkan ke bagasi.

"Kenapa kamu nggak bawa Land Rover saya supaya koper dan tas bisa masuk ke bagasi semua."

"I miss you too, Dika." kata Jena santai.

"Ya, I really miss you. Tapi sumpah, di sini nggak nyaman banget."

"Saya cuma bisa nyetir mobil matic."

"Harusnya lo nggak usah minta Jena jemput kita di bandara, Dik," kata Marsha.

"Iya, gue bisa suruh sopir gue jemput kita," Bima menambahkan.

"Bukan gue yang minta, Jena sendiri yang mau jemput ke bandara."

"I said I miss you," gumam Jena.

"Jena, bisa minggir sebentar?" kata Bima.

"Kenapa?" Tapi Jena segera menepikan mobilnya.
Bima keluar dari mobil lalu membuka pintu di sebelah Jena. "Biar gue yang nyetir, lo duduk di belakang. Lo kangen Dika kan."

"Eh, nggak usah, nggak apa-apa kok. Lo pasti masih capek kan."

"Udah pindah sana. Lagian gue juga lebih milih duduk di sebelah calon istri gue daripada duduk dempet-dempetan sama cowok cerewet kayak Dika."

"Hei!" protes Dika.

"Calon...istri?" Jena melongo mendengar kata-kata Bima.

"Udah pindah dulu sini, nanti saya ceritain," kata Dika. Maka Jena keluar dan duduk di sebelah Dika di kursi belakang. Nyaris duduk di pangkuan pria itu saking sempitnya tempat untuknya duduk.

"Jadi waktu di Bali kemarin Bima ngelamar Marsha, and she said yes."

"Tapi kalian kan..." Jena tidak tahu harus berkata apa, dia tidak pernah tahu bahwa Marsha dan Bima punya hubungan yang lebih dari sahabat.

"Kamu nggak pernah bilang kalau mantan pacar kamu pacaran sama sahabat kamu," kata Jena pada Dika.

"Kita memang nggak pernah pacaran, Jena. Harusnya kamu lihat muka Dika waktu Bima ngelamar gue kemarin. I swear, itu muka Dika yang paling nggak banget."

"Terus kenapa kalian bisa tunangan kalau nggak pernah pacaran?"

"Entahlah. Gue sama Marsha baru sadar kalau kami saling jatuh cinta pas di Bali kemarin. Gue juga nggak nyangka gue bisa jatuh cinta sama mantan pacar sahabat gue sendiri."

"Terus kapan kalian nikah?"

"Nggak buru-burulah. Marsha masih punya kontrak sama satu label fashion, gue juga masih sibuk banget belakangan ini, jadi kita lihat nanti saja."

"Saya jadi kambing di sana, tahu nggak. Coba aja kamu ikut kita ke Bali," kata Dika.

"Saya ambil cuti seminggu ini," kata Jena sambil tersenyum.

"Kamu di sini seminggu?" Dika langsung berseri-seri seperti anak kecil yang baru menerima hadiah impiannya.

"If you don't mind I live at your apartment."

"Not at all."

Mereka mengantarkan Bima dan Marsha ke rumahnya masing-masing. Kemudian berkutat dengan kemacetan kota Jakarta sampai akhirnya mereka tiba di apartemen Dika. Dika langsung mandi begitu mereka sampai, sedangkan Jena menyiapkan makan malam untuk mereka lalu membongkar koper Dika untuk memisahkan baju kotor dan baju yang masih bersih. Dia akan mencuci baju-baju kotor itu besok pagi.

"Kamu kelihatan capek banget," kata Jena saat dia dan Dika sedang meringkuk di sofa sesudah makan malam.

"Kelihatan ya? Lumayan capek sih. Stamina Bima dan Marsha nggak ada matinya."

"Mau dipijitin? Mama selalu bilang kalau pijitan saya nggak ada yang ngalahin loh."

"Mau banget."

"Kalau gitu kita ke kamar yuk."

Jena mengambil botol minyak zaitunnya lalu masuk ke kamar Dika. Dika sudah menelungkup di atas tempat tidur, hanya memakai celana boxer abu-abunya. Bahkan dari belakang pun Dika terlihat sangat seksi.

"You give me a massage and I give you a view," kata Dika.

"Fair enough," balas Jena.

Dia kemudian naik ke tempat tidur, duduk di ujung kaki Dika dan mulai memijit kaki Dika satu per satu. Setelah selesai dengan kakinya, Jena naik ke atas pinggang Dika dan mulai memijit punggung dan bahunya.

"Benar yang dibilang mama kamu, pijitan kamu memang nggak ada yang ngalahin."

"Kamu ngapain aja sih di Bali? Otot-otot kamu sampai tegang semua kayak gini."

"Banyak. Saya ceritain besok deh. Sekarang saya mau kangen-kangenan dulu sama kamu."

Setelah berkata begitu, tiba-tiba saja Dika bergerak dan entah bagaimana caranya Jena sudah terlentang di tempat tidur dengan Dika berada di atasnya. "Saya belum selesai," kata Jena.

"It's okay," bisik Dika. Kemudian dia mendekatkan bibirnya ke bibir Jena.

"You said you don't have a condom."

"Who says I wanna make love to you? I just wanna kiss you, if you don't mind."

"Of course not. Kiss me like that night," bisik Jena.

×××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××

TROUVAILLEOù les histoires vivent. Découvrez maintenant