10 | Don't Give Up On Me

6.4K 443 5
                                    

Tapi bukan itu yang dilakukan Dika. Dia menghadapkan badannya ke arah Jena, membuat Jena melakukan hal yang sama. Kemudian dia merengkuh wajah Jena dengan tangannya dan berkata, "Kamu harus janji kamu akan menjaga kesehatan kamu sendiri. Biarpun saya dan Celia nggak akan berhenti memantau kamu, tapi kamu sendiri yang tahu kondisi badan kamu. Saya mau kamu berjanji kamu nggak akan memaksakan diri kamu. Saya nggak bisa... Saya..."

"Saya janji, Dika. Saya janji kamu akan jadi orang pertama yang tahu keadaan saya."

"Terima kasih."

Dika melepaskan tangannya dari wajah Jena, dan mereka kembali memandangi pemandangan kota Jakarta. Sedikit rasa kehilangan menghantui Jena setelah Dika melepaskan tangannya dari wajahnya. Jena merasa ini adalah saat yang tepat untuk menjelaskan perasaannya pada Dika.

"Dika," katanya sambil tetap memandang ke luar.

"Hmm?" sepertinya Dika masih larut dalam pikirannya sendiri.

"Saya... Dika, saya tahu kamu cinta sama saya." Saat itulah Jena mendapat perhatian penuh dari Dika. Dika menolehkan kepalanya ke arah Jena dan menyandarkan sisi tubuhnya ke pagar balkon. Tapi Jena tidak sanggup untuk menghadapi Dika, dia hanya menatap ke bawah, ke tangannya yang bertaut di atas pagar. Dika tidak mengatakan apa-apa, maka Jena melanjutkan.

"Dan saya harusnya merasa bersyukur akan hal itu. Tapi, Dika, saya masih belum berani. Saya takut. Saya takut Tuhan akan mengambil lagi laki-laki yang saya cintai dari sisi saya. Dan saya belum sanggup mengahadapi kesakitan seperti itu lagi." Setetes air mata jatuh ke pipi Jena yang cepat-cepat dihapusnya dengan punggung tangannya.

Lalu dia melanjutkan, "Saya tahu yang akan saya minta ke kamu sekarang ini egois dan nggak adil buat kamu, tapi..." dia berhenti, ragu-ragu melanjutkan perkataannya. Dia menatap mata coklat Dika dengan mantap lalu menyuarakan isi kepalanya, "Tapi saya minta jangan berhenti mencintai saya, don't give up on me. Suatu hari nanti saya akan bisa mengatasi ketakutan saya dan...dan saya mungkin bisa membalas cinta kamu."

¤¤¤¤

Dika menatap mata hitam di depannya. Mata yang berkaca-kaca tapi mantap menatapnya. Jadi selama ini yang menggangu Jena adalah trauma akan kehilangan. Ya Tuhan, wanita ini dari luar terlihat kuat, tapi hatinya ternyata sangat rapuh.
Dia tidak tahan melihatnya seperti itu. Dia menarik Jena ke dalam pelukannya, menghirup rambutnya yang beraroma jeruk, dan merasakan Jena mengalungkan lengannya di sekeliling pinggangnya. Rasanya sangat nyaman, sangat damai.

"Enggak, Jena. Saya akan selalu ada untuk kamu. I'll be the one who will make your sorrows undone. Saya nggak akan berhenti mencintai kamu." Lalu dia mengecup pelan puncak kepala Jena dan merasakan Jena terkesiap. Tapi dia tidak melepaskan tangannya dari pinggang Dika. Another point for Dika.

Mereka tidak tahu sudah berapa lama mereka berpelukan seperti itu. Tapi hujan yang turun membuat mereka melepaskan pelukan satu sama lain, dan masuk lagi ke kamar Dika. Jena menggumamkan sesuatu tentang kamar mandi dan melangkah ke arah pintu kamar, Dika mengikutinya.

Saat mereka keluar dari kamar, mereka menemukan Celia sedang duduk di sofa, menonton tv sambil memeluk toples plastik. "Aku minta cheese stick ya, Mas."

"Iya, makan aja."

"Wah, kalian belum juga sehari tinggal bareng udah menghilang tiba-tiba terus muncul berdua dari kamar, gimana kalau aku nanti pulang ke Bandung?"

Muka Jena dan Dika berubah semerah tomat dan mereka jadi salah tingkah. Jena kemudian berkata akan ke mandi lalu masuk ke kamarnya dan keluar lagi membawa peralatan mandinya. "Clear your head, Cel. Kita nggak ngapa-ngapain di dalam." lalu dia masuk ke kamar mandi sehingga tidak mendengar jawaban Celia.

TROUVAILLEWhere stories live. Discover now