24 | Gala Premiere

4.7K 329 5
                                    

Dua bulan sudah berlalu sejak Jena menerima lamaran Dika. Besok adalah acara premier film mereka. Film ini sudah sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat karena akan menampilkan Mahardika Marsh dan Adelia Zahra sebagai pasangan lagi setelah bertahun-tahun lamanya sejak film pertama mereka. Oleh karena itu, Tanusastra bersaudara akan menggelar acara premier yang lumayan mewah di salah satu bioskop di Jakarta. Akan ada red carpet seperti premier film-film hollywood sehingga semua yang hadir diharuskan berpakaian rapi dan formal.

Sejak pagi hari, Jena dan Celia sudah mulai bersiap untuk acara ini. Mereka lumayan ahli dalam berdandan sehingga tidak membutuhkan make up artist atau stylist. Mereka saling mengecat kuku, mendandani, dan menata rambut satu sama lain. Dika sudah pergi duluan sejak tadi karena dia harus menghadiri konferensi pers dan meet and greet sebelum gala premier. Sedangkan Jena dan Celia akan langsung hadir di gala dinner dan screening.

Jam tiga sore Jena dan Celia sudah siap berangkat. Jena memastikan inhalernya ada di dalam tas yang akan dibawanya karena dia merasa dadanya agak sesak. Sepertinya cat kuku yang tadi dipakainya bersama Celia memicu asmanya kambuh. Dia sudah menggunakan inhalernya sekali tadi saat sedang bersiap-siap dan mungkin dia masih akan membutuhkan inhalernya lagi nanti.

¤¤¤¤

Dika akhirnya menemukan Jena di tengah ingar bingar acara gala premier. Dua puluh menit lagi mereka akan masuk teater untuk menonton pemutaran perdana filmnya dan Dika baru saja selesai menghadiri konferensi pers sehingga dia baru sempat mencari Jena. Tapi dia malah menemukan Jena di pojok ruangan yang agak tersembunyi sedang menghirup inhalernya.

"Jena." Yang dipanggil namanya mendadak menoleh lalu cepat-cepat memasukkan inhalernya ke dalam tas.

"Asma kamu..."

"Nggak apa-apa. Cuma serangan biasa. Kamu sudah selesai press conference?"

"Sudah. Sebentar lagi screening-nya mulai. Celia mana?"

"Nggak tahu, terakhir saya lihat lagi ngobrol sama Tante Yuni."

"Kamu yakin nggak apa-apa?"

"Iya. Yuk."

Jena menggandeng lengan Dika dan menariknya ke arah kerumunan. Dika tahu Jena berbohong tentang kondisinya. Dia bisa melihat Jena masih agak sulit bernapas biarpun wajahnya tidak terlihat pucat karena tertutup make up. Tapi dia tahu ini bukan saat yang tepat untuk mendebatnya. Ini adalah momen penting bagi Jena sebagai desainer, namanya akan ada di kredit film sebagai penata busana.

"Nervous?" tanya Jena.

"Hmm?"

"Kamu nervous? Tangan kamu dingin banget."

"Lumayan. Film ini kan diantisipasi banyak orang. Saya takut kita nggak memenuhi ekspetasi mereka," jawab Dika sambil memaksakan senyumnya.

Tapi kekuatiran Dika akan hal itu tidak berlangsung lama, dia bisa melihat para penonton sangat menikmati filmnya. Justru ada hal lain yang menggangunya. Dia memperhatikan Jena yang duduk di belakangnya berkali-kali menggunakan inhalernya. Dia tidak bisa menghitung sudah berapa kali Jena menghirup inhalernya tapi dia tahu ini tidak seperti serangan ringan yang biasa dialaminya.

Saat film selesai, kebanyakan penonton langsung keluar dari teater, dan dia juga melihat Jena terburu-buru keluar. Dia mengedarkan pandangan mencari Celia dan menemukannya sedang mengobrol dengan seseorang lalu menghampirinya.

TROUVAILLEWhere stories live. Discover now