7 | Let Me Love You

7.8K 513 6
                                    

Ya Tuhan! Dika benar-benar menyatakan perasaannya pada Jena, bahkan di depan Celia dan Yoga. Tapi apa Jena mencintai Dika seperti Dika mencintainya? Dia sendiri tidak tahu. Dia sendiri tidak bisa memastikan bagaimana perasaannya pada Dika. Dia memang merasa sangat nyaman saat Dika ada di sampingnya, dia juga merindukan Dika saat laki-laki itu tidak menghubunginya untuk beberapa waktu, dan saat laki-laki itu ada di dekatnya dia selalu merasakan sensasi aneh di dadanya, seperti ada sesuatu yang menggeliat bahagia dalam tubuhnya. Tapi apa itu semua cukup untuk menegaskan bahwa Jena mencintai Dika? Lagi-lagi dia tidak tahu jawabannya. Seperti ada suatu hal yang membuatnya tidak ingin terlibat lebih jauh dengan Dika.

"Saya... Saya harus tutup toko, sudah jam setengah sepuluh," kata Jena, akhirnya mengalihkan pandangannya dari mata coklat Dika yang selalu membuatnya meleleh.

Dia kemudian mengambil tasnya lalu berjalan keluar menuju butiknya. Celia segera mengikutinya, tapi Dika dan Yoga sepertinya tidak bergerak sama sekali. "Mbak, tungguin dong."
Jena kemudian berhenti mendadak sampai Celia menabraknya dari belakang.

"Mbak harus gimana, Cel? Mbak sendiri nggak tahu perasaan mbak ke Dika tuh gimana."

"Ya tapi harusnya Mbak jangan main pergi gitu aja, Mbak. Mas Dika beneran cinta loh sama Mbak, aku sama Mas Yoga bisa lihat. Tatapan dia ke Mbak tuh benar-benar tatapan jatuh cinta. Dan dia care banget sama mbak. Bilang aja mbak butuh waktu buat mastiin perasaan mbak ke dia. Minta dia kasih waktu buat mbak renungin perasaan mbak. Dia pasti ngerti, kok."

Jadi saat Dika dan Yoga menyusul mereka ke butik yang sudah ditutup dan dikunci, Jena menghampiri Dika yang berdiri agak menjauh dari mereka.

"Dika, saya.... Maaf tadi saya pergi gitu aja. Benar-benar nggak sopan. Maafin saya. Saya...." Jena kehabisan kata-kata, dia benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa.

"Nggak apa-apa, Jena. Saya ngerti, saya nggak akan paksa kamu untuk jawab sekarang juga."

"Thank you."

"No problem. Tapi saya boleh antar kamu pulang malam ini kan?"

"Saya bawa mobil kesini, ga mungkin—"

"Aku yang bawa mobil. Mas Yoga harus buru-buru pulang karena kucing Mama Rita beranak. Mana kuncinya?" Celia tiba-tiba sudah ada di sampingnya dan menyodorkan tangannya, meminta kunci mobil Jena. Jena pun terpaksa memberikan kunci mobilnya pada Celia dan pulang diantar oleh Dika.

Suasana di dalam mobil Dika sangat canggung dalam perjalanan itu. Dika hanya berbicara untuk menanyakan jalan ke rumah Jena dan Jena hanya berbicara untuk menjawab pertanyaan Dika. Jena tidak tahu harus bagaimana mengatakan pada Dika bahwa dia belum siap, dia belum bisa membenahi hatinya. Dia sadar kemungkinan besar dia pun mencintai Dika, tapi ada sesuatu yang menghalanginya dan dia tidak tahu apa.

"Kamu mau saya atau kamu sendiri yang telepon Mbak Anggi?"

Jena tidak mengerti apa yang dibicarakan Dika, pikirannya benar-benar kusut saat ini. "Telepon? Mbak Anggi?"

"Iya, Mbak Anggi sama Mas Angga pasti nunggu kabar dari kamu."

"Oh, iya. Tapi apa nggak terlalu malam telepon jam segini?"

"Iya sih, mungkin besok aja kali ya."

Saat mereka sampai di depan rumah Jena, Dika mematikan mesin mobilnya dan suasana mendadak menjadi hening.

"Mmm, kamu mau masuk dulu? Minum kopi?"

"Nggak usah, sekarang sudah malam. Jena, listen to me, saya mau kamu lupain semua yang saya omongin tadi. Saya nggak mau kamu jadi terbebani sama kata-kata saya. Saya nggak mau kamu jadi banyak pikiran gara-gara saya. Please, just forget that. Saya akan tetap cinta kamu, tapi saya nggak akan memaksa kamu."

TROUVAILLEWhere stories live. Discover now