31 | Minggu Depan

5.1K 343 7
                                    

Jena keluar dari apartemen Dika dan langsung mencegat taksi yang lewat di depannya. Perasaannya luar biasa kacau balau saat ini. Rasanya dia ingin meledak saking banyaknya yang dia rasakan dan dia pikirkan. Sedikit rasa lega muncul di hatinya karena akhirnya dia tahu alasan Dika yang sebenarnya kenapa dia meninggakannya. Tapi dia juga merasa marah karena Dika malah berbohong dan mengatakan bahwa dia tidak mencintainya lagi saat itu. Jena merasa frustrasi karena dia sudah tahu alasan Dika tapi rasanya dia tidak bisa menerima alasan itu. Dia tidak ingin menerima alasan itu. Kenapa Dika harus meninggalkannya dan menorehkan luka yang luar biasa dalam di hatinya hanya karena alasan seperti itu? Ini sangat mengecewakan baginya. Dia pikir dulu mereka sudah sepaham dan tidak akan menyembunyikan apa pun satu sama lain. Tapi apa yang Dika lakukan ini membuatnya sedih, seolah Dika tidak mempercayainya. Apa Dika pikir dia akan meninggalkan Dika jika dia tahu Dika tidak bisa memberinya anak?

Rasanya dia ingin berteriak sekencang-kencangnya untuk meluapkan semua emosinya. Tapi Jena mengeraskan hatinya, dia tidak ingin lagi meratapi para lelaki kesayangannya yang telah pergi. Papa, Rangga, Dika. Mereka bertiga sudah cukup membuat hatinya dipenuhi lubang-lubang menyakitkan.

Jena tiba di apartemennya dan langsung membereskan barang-barangnya. Jika Yoga sudah kembali, dia akan langsung mengajaknya pulang ke Bandung. Dia tidak akan membiarkan Dika mengacak-acak hati dan pikirannya lagi.

Sekitar jam tujuh malam akhirnya terdengar ketukan di pintu apartemennya. Jena segera membuka pintu dan berkata, "Hayu, Ga. Langsung pul-."

Pria di balik pintunya bukan Yoga. Dika dengan wajahnya yang masih setampan dulu berdiri dengan sebuket bunga di tangannya. Mereka terpaku memandang satu sama lain sampai Jena tersadar dan langsung berusaha menutup pintunya.

Tentu saja gagal. Dika dengan mudahnya menahan pintu itu agar tidak tertutup dan berhasil menerobos masuk ke dalam apartemen. Jena tidak ambil pusing karena gagal menahan Dika di luar, dengan cekatan dia berlari ke dalam kamarnya dan berhasil mengunci pintu sebelum Dika mengejarnya.

Jena tidak ingin melihat wajah Dika. Dia tidak bisa melihat wajah Dika. Karena kalau dia melihat wajah itu lagi, pertahanannya akan runtuh dan dia akan jatuh lagi dalam pelukan Dika. Semua terapi yang dia jalani selama ini ternyata tidak berhasil mengatasi traumanya ditinggal orang terkasih. Dia masih takut ditinggalkan.

"Jena, please. Buka pintunya," seru Dika dari balik pintu.

"I'm done with you. Tolong keluar." Jena membalas dengan tegas, berharap Dika menangkap nada mengintimidasi dalam suaranya.

"Or what? Handphone kamu ada di dapur. Kamu nggak bisa hubungi siapa-siapa." Dika balas mengancam.

Jena mengutuk dirinya sendiri di dalam kamar karena dengan mudahnya membuka pintu apartemen tanpa melihat siapa yang mengetuk dari peephole. Untung saja cuma Dika yang datang, bagaimana kalau orang jahat?

"Mau kamu apa, Dika?"

"Keluar, Jena. Kita bicara."

Jena menghela napas dan duduk bersandar pada pintu kamarnya, lelah dengan semua drama dengan Dika. "Kamu bisa bicara sekarang, saya bisa dengar suara kamu dari sini."

"Jena, kenapa harus seperti sinetron begini?"

"Karena kalau saya melihat muka kamu lagi saya akan menyerah dan membiarkan kamu menguasai hati saya lagi, Dika, tolong. Saya nggak mau patah hati lagi." Jena memejamkan matanya menahan bulir-bulir air matanya agar tidak jatuh.

Dika bisa mendengar getar dalam suara Jena. Sakit rasanya sudah sedekat ini tapi tidak bisa memeluk dan menenangkan Jena seperti dulu. Dan dia juga sadar semua ini salahnya. Yoga salah, dia tidak termaafkan. Kesalahan yang dilakukannya terlalu dalam menoreh hati Jena. Dia harus merelakan Jena sekali lagi.

TROUVAILLEWhere stories live. Discover now