Part 11 (Devian Helplessness)

5.3K 394 2
                                    

Devian tidak sedikit pun menghilangkan auranya, membuat ruang kerja Red Team begitu sesak dan mencekam, bahkan semua yang ada di dalamnyapun mulai memegang dada mereka, mencoba menenangkan diri mereka agar berhasil mengambil nafas sebanyak apapun, kecuali Anya yang terlihat begitu tenang-terlalu tenang-.

Jangan.coba.coba.melakukan.rencana.ini.” desis Devian tajam dengan nada datar yang mengancam lalu keluar meninggalkan mereka membuat semua orang di ruangan itu bernafas lega tidak kehilangan nyawanya sedangkan Anya seperti biasa hanya memasang wajah datarnya, bukan. Untuk saat ini bukan karena aktingnya sebagai Z, melainkan ia harus menahan kekesalannya pada Devian yang bisa saja membongkar rahasia mereka sebagai sepasang mate.

Devian begitu marah. Tentu saja! Tidak akan ada yang setuju jika matenya turun langsung menghadapi musuh yang dengan sangat jelas menginginkan seorang luna yang tentunya matenya, lunanya, queennya masuk dengan sendirinya ke kandang musuh hanya untuk menyelamatkan para luna, kecuali jika pria itu gila dengan sukarela memberikan matenya. Harus ia akui bahwa ialah yang memberikan rencana mengenai penggelaran pesta besar-besaran di Red Moon Pack, namun tiba-tiba ada orang sinting yang menambahkan rencana gila di dalamnya.

C yang ‘katanya’ seorang ahli strategi, dengan seenak jidatnya menyuruh Z matenya-yang tentunya mereka tidak tahu- menjadi mata-mata di kandang musuh sendirian dan tanpa senjata apapun.

Wow.

Bukankah itu rencana yang sangat hebat? Membiarkan matenya menyamar menjadi mate orang lain, lalu membiarkan matenya masuk ke kandang lawan yang masih di perkirakan tempatnya, dan setelah itu membiarkan matenya menyelesaikan sisanya sendiri. Hebat! Kenapa tidak sekalian saja bilang pada dunia bahwa Z adalah matenya? Bukankah itu lebih mudah?

Devian melempar apapun yang ada di ruang kerja pribadinya, menghancurkan ruangan yang sebelumnya tertata rapi menjadi kapal pecah. Bersyukurlah ruangan ini kedap suara. Devian terus melayangkan tinjunya pada meja yang tentu langsung hancur tak berbentuk, lalu ia beralih ke arah dinding yang bisa dibilang tebal, memukulnya terus-menerus sebagai pelampiasannya. Ia tidak bisa membiarkan matenya dalam bahaya, sudah cukup ia kehilangan keluarganya, saat ini ia hanya memiliki adik perempuan dan matenya. Perasaannya begitu marah! Ingin rasanya ia menyiksa makhluk yang telah berani merusak kehidupannya ini.

Tanpa ia sadari pintu ruangannya terbuka, menampilkan sosok yang bisa membuatnya seperti ini, siapa lagi kalau bukan matenya. Anya mengunci pintunya, lalu menghampiri matenya yang bisa menghancurkan reputasi, rahasia dan rencana dalam sekejap bagaikan bom waktu yang tinggal menunggu kapan detiknya berakhir.

“Hey.” Anya menepuk lembut pundak matenya. Devian berbalik lalu menyentuh kedua bahu matenya, menatap manik hitam matenya dengan tatapan marah, sedih dan khawatir yang menjadi satu, “Tidak! Kau tidak boleh ikut.” Ucapnya tajam, dengan nada yang sangat jelas melarang, namun bukan Anya namanya jika dia tidak bisa menjalankan misinya dengan lancar.

“Aku akan ikut. Dengan atau tanpa izinmu” jawab Anya, membuat Devian mengeratkan pegangannya di pundak matenya, yang dapat di pastikan itu akan menimbulkan bekas biru di sana.

Ia menatap Anya tajam, “Jangan coba-coba. Atau ak-“ desisannya terpotong karna Anya-dengan tiba-tiba- mencium bibirnya.  Devian diam, tidak menyangka matenya akan menciumnya di saat seperti ini, ia diam tidak membalas ciuman itu-namun ia menikmatinya- hingga ciuman itu berubah menjadi lebih dalam dan liar, membuat amarah dan pertahanannya meluap begitu saja, dan mulai membalas ciuman itu sama liarnya.

Anya merutuki dirinya karena dengan bodohnya mencium Devian, entah mengapa terlalu lama tidak bertemu dengan pria di hadapannya membuat dirinya sulit untuk mengendalikan dirinya agar tidak berdekatan dengan pria dihadapannya saat ini.

Perasaannya begitu kesal dan marah melihat Devian menolak rencana C untuk mengirimnya dalam misi ini, namun ada perasaan lain ketika ia melihat Devian yang dingin menjaid seperti ini karenanya, dan tubuhnya dengan begitu saja mencium bibir Devian yang harus ia akui sangat dirindukannya, dan setelah sekian lama, ia merasa begitu sangat dicintai lagi.

Devian mendorong matenya hingga punggung perempuan itu menabrak dinding cukup keras, tangan kanannya menyentuh lehernya untuk memperdalam ciuman mereka, sedangkan tangan kirinya melingkar dengan pas di pinggangnya, merapatkan tubuh mereka satu sama lain. Entah berapa lama mereka berciuman, hingga keduanya memutuskan untuk berhenti sekadar mengambil nafas lalu saling menatap mata satu sama lain.

“Semua akan baik-baik saja, Dev.”
Devian sadar, ia sangat mencintai matenya, ia sadar bahwa ia takut kehilangan lagi, dan bahkan ia sadar ia berani dan rela melepaskan gelar King of Alpha hanya agar matenya selamat tapi suatu kenyataan menghantam itu semua, bahwa rakyatnya membutuhkannya dan ini merupakan misi matenya, membuat dadanya terasa sesak, rasa takut yang besar kehilangan matenya, hingga akhirnya ia menangis, menangis dalam dekapan hangat matenya.

The King of Alpha menangis, seseorang yang sangat dingin, kejam dan berkuasa menangis di pelukan matenya, menangisi ketidak berdayaannya untuk menahan matenya, menangisi bahwa gelar Kingnya tidak memiliki arti apapun dalam menghadapi musuhnya kali ini, yang kapan saja bisa mengambil matenya.

“Bukankah ini lucu Z? Seorang King of Alpha menangis, tidak bisa melindungi matenya.”

o00o
06092017
Re: 29062018

Halo pembaca yang baik hati! Jangan lupa tekan vote atau komen yaa 😄


Best regards,

Emma

Mate MissionWhere stories live. Discover now