Bab 6 - Hati-hati dengan Ucapanmu (Bagian 2)

150 19 0
                                    

Akhirnya, Eri bisa kabur dari gala dinner membosankan itu. Rasanya sungguh menyebalkan harus pamer senyum palsu ke semua orang.

Jade bahkan langsung melengos dan kabur saat dikenalkan dengan CEO Grey Enterprises Holdings. Eri sih, cuma cengir-cengir kuda saat bersalaman dengan pria bule yang langsung kedip-kedip mesum itu. Syukurlah, gara-gara Mr. Abu-abu ngobrol trik-trik terbaru bareng Darius (dan Darius kayaknya menghayati banget menyimak cara gombalin cewek dalam helikopter), Eri mendapat kesempatan menyelinap keluar tempat acara.

Eri berjalan di salah satu bagian taman. Samar-samar, telinganya menangkap sebuah suara. Bukan suara musik megah dari dalam hotel. Irama gitar itu terdengar liar, bahkan ketika melodi yang mengalun berasal dari karya tangan Ludwig van Beethoven.

Entah bagaimana caranya, Fur Elise yang pernah dikabarkan sebagai tanda cinta tak kesampaian sang maestro itu terdengar begitu menggugah. Kadang mengikuti nada latin yang ceria, kadang melambat seperti irama balada ... sepertinya sang gitaris sedang memaksakan kegelisahannya dalam senar-senar gitar. Ketidaksinkronan melodi yang aneh. Namun menggoda dengan caranya sendiri.

Tanpa sadar, Eri melangkah menuju asal suara. Siapa sangka, di antara kegelapan dan suara musik bak sihir itu ternyata tersembunyi dua sejoli yang kini memadu cinta?

Eri memang pernah mendengar kedekatan Minnie Baby dengan Sky. Tapi dia tidak pernah menyangka akan melihat mereka seintim ini. Tangan Minnie bergerilya ke mana-mana, sementara Sky hanya diam. Mungkin menikmati (?) Eri juga tidak tahu.

Merasa ketahuan, Sky segera berpaling. Kata-katanya terdengar ketus dan langsung menohok hati Eri, "Kau! Erika Valerie! Seharusnya kau tidak pernah datang! Kenapa kau tidak pergi saja?"

Eri mempercepat langkah, menjauhi pemandangan dan kemesraan yang paling tidak ingin dilihatnya itu. Saking buru-burunya, dia bahkan menabrak seorang waiter. Nampan di tangan pelayan itu langsung jatuh dengan suara berisik. Tanpa meminta maaf, Eri berlari menjauhi hingar bingar Maximus.

Perasaan Eri kacau seketika. Perkataan Sky terasa seperti pisau yang langsung menancap di hati. Kenapa Sky bisa berkata sejahat itu? Memangnya siapa yang mau datang dengan senang hati kemari?

Eri menengadah dan melihat garis laut di depan. Rupanya, Eri telah sampai di halaman belakang hotel yang menghadap pantai. Angin malam menyambutnya. Suara ombak, desiran angin, dan kelembutan pasir pantai perlahan mengusir semua kegundahan di hati Eri. Terasa nyaman, meski tanpa Eri sadari ... semua ketenangan itu bisa jadi mengundang suatu bahaya.

Eri duduk di kursi taman. Sambil menahan tangis, dia mencopot sepatu lalu meletakkan alas kaki itu dengan sembarangan.

Sepatu beledu itu berwarna putih dengan hak tinggi. Batu-batuan disematkan pada tali dan haknya yang berwarna transparan seperti kaca. Kalau keadaannya tidak seperti sekarang, Eri pasti akan melonjak kegirangan. Senang karena bisa menjadi Cinderella.

Dulu, Eri pernah membayangkan bagaimana jika dia hidup di dunia di luar dunianya. Tiap kali berkhayal, dia merasa kalau kekayaan akan indah dan menyenangkan.

Sayang, kenyataan adalah kenyataan. Meski sudah masuk dalam dunia yang dulu seakan jauh itu, Eri tetap merasa terbuang. Sikap Darius, sikap orang-orang di konferensi pers, hingga kemesraan Minnie Baby dan Sky, semua itu sekarang meruntuhkan harapan dan impian Eri.

Eri memeluk dirinya sendiri. Air mata telah jatuh ke pipi. Kejadian-kejadian bersama Maximus terasa bagai mimpi buruk bagi Eri. Dia ingin segera bangun.

"Pidato yang bagus sekali!" sebuah suara semanis madu membuyarkan lamunan Eri. Ia menyusut air mata, melihat seorang cowok sedang mendekatinya. Tangan cowok itu tersuruk ke dalam saku, terlihat begitu santai.

Eri ingin menyuruh cowok itu pergi, tetapi dia lebih dulu bicara pada Eri. Nada suaranya begitu tegas. Sulit dibantah.

"Kau terlihat sangat mengenalnya," cowok itu berkata, "Kalau tidak kau takkan punya keberanian sebesar itu untuk mengejeknya.... Bukan begitu? Peri Valentine?"

"Mengenal siapa?" Eri berjengit, "Dan apa maksudmu dengan peri valentine?"

"Tentu saja mengenal Kuga Kyouhei," Cowok itu kini berdiri di dekatnya, "Valentine's Fairy—Valerie—itu namamu bukan? Apa kau pernah bertemu dengan Kuga Kyouhei?"

Eri langsung merasakan sensasi tak nyaman saat namanya disebut oleh suara rendah dan serak itu. Kesannya seperti madu yang beracun. Manis dan mematikan. Diam-diam, Eri memperhatikan penampilan cowok itu. Si Cowok mengenakan kemeja lengan panjang yang ujungnya digulung, dan sebuah jins yang mulai robek. Perawakannya tinggi, tegap, dan atletis. Rambut cowok itu berwarna coklat kemerahan, melewati bahu. Sebagian rambutnya dibiarkan berantakan sementara sebagian lagi terikat asal-asalan di kepalanya. Cowok itu tampan. Sangat tampan. Sebuah anting panjang menggantung di telinga kanannya. Wajahnya sempurna, bernuansa oriental, cukup membuat semua orang yang melihatnya berpikir kalau cowok itu baru saja keluar dari majalah Asian Idol. Semua orang. Kecuali Eri. Otaknya mulai muak. Ia memandang cowok itu dengan pandangan bermusuhan. Namun cowok itu terlihat tak peduli. Ia beringsut mendekati kursi Eri, kemudian menaruh kedua tangannya di sandaran kursi, tepat di dekat bahu Eri.

Eri terlonjak berdiri, "Apa maumu?" gertaknya. Cowok itu menyunggingkan senyum separuh, aksen suaranya yang berbeda dalam pengucapan huruf 'r' mengisyaratkan kalau Bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibunya. Eri menduga, kalau dia bukan orang Indonesia asli. Ya, bukan hal yang aneh melihat turis yang lancar berbahasa Indonesia di Bali sini.

"Pernyataanmu tadi soal Kuga Kyouhei betul-betul mengesankan," Cowok itu menarik tangannya, menyurukkannya kembali ke dalam saku celana, "Kau pembohong besar."

Mata Eri membesar karena marah, "Itu semua bukan urusanmu." Eri berkata angkuh.

"Dia bisa memberimu apa saja yang kau mau. Dia bahkan bisa membelimu. Kalau dia menginginkannya."

Buku-buku jari Eri mengeras, "Manusia bukan barang jualan," geramnya, "Dan aku tidak membutuhkan apapun darinya."

"Benarkah?" cowok itu mendekatkan wajahnya ke wajah Eri, "Tapi kau terlihat cocok berada di sini. Dalam semua kemewahan ini... Dia bisa memberi lebih. Apa kau benar-benar tak menginginkannya?"

Eri mengeluh dalam hati. Adegan Sky dan Minnie Baby perlahan terputar kembali di otaknya. Ini tidak bagus. Untuk apa dia berdebat dengan seorang cowok asing di sini?

Menahan omelan dalam hati kalau cowok ini sudah gila, Eri buru-buru melangkah pergi. Si cowok menyebalkan tergelak melihat Eri kabur seperti sedang dikejar serigala. Yang terpenting, gadis itu kini luput dari bahaya.

Dengan tenang, si cowok menembakkan peluru dari pistol berperedam di tangan. Seorang penguntit segera roboh di belakang Eri. Dia kembali tersenyum. Perkataan Eri di konferensi pers tadi kembali terngiang dalam pikiran. Gadis yang lucu. Eri bahkan tak tahu dia sedang berhadapan dengan siapa.

Derou! (keluarlah!)" teriakan itu seketika mengejutkan orang-orang yang baru akan bersiap mengejar Eri. Cowok itu tertawa terbahak-bahak melihat sekumpulan orang dungu yang akan segera babak belur di tangannya.

#StopPlagiarism

Putu Felisia

[ FULL ] My Lovely GangsterWhere stories live. Discover now