Bab 24 - "Tahanan"

91 13 2
                                    

Tokyo, Jepang, di musim gugur amatlah dingin. Daun-daun mulai menguning dan memerah di Bulan Oktober. Hembusan angin gunung menghembuskan hawa dingin menusuk tulang. Suasana asing namun membawa kerinduan terasa menghanyutkan di kala menyaksikan helai-helai daun Momiji yang merah mulai berguguran di atas tanah. Hening, dan memikat.

Mansion Kuga pagi itu terlihat masih megah dan anggun, Eri dapat melihat barisan pepohonan berwarna oranye keemasan, dilatarbelakangi pemandangan gunung Fuji, terpantul dari kaca bening di kamar tamu. Semuanya terlihat sempurna, terkecuali satu hal. Disana ia hanya seorang tahanan. Mungkin karena itu, semua orang memperhatikannya. Mungkin juga mereka penasaran, bagaimana rupa seorang gadis idiot yang terlibat dalam permainan gangster.

Dua hari terkurung di kamar tahanannya, Eri baru mengerti kenapa selama itu ia sama sekali tidak diizinkan menginjakkan kaki di luar teritori itu. Puluhan pasang mata benar-benar menatapnya, persis seperti sorotan kamera ketika seseorang tengah tertangkap saat melakukan tindakan kriminal. Eri menundukkan kepala dalam-dalam, berusaha menutupi wajahnya dengan membiarkan rambutnya tergerai melalui pundak. Ia tak mengerti, mengapa semua orang yang dilewatinya, memasang ekspresi aneh, bahkan para pelayan yang sedang bekerja pun mengalihkan perhatian mereka untuk diam-diam memandang Eri, sebelum akhirnya ditegur oleh atasan mereka.

Eri melihat seorang pelayan lagi-lagi memperhatikannya secara sembunyi-sembunyi. Begitu tahu Eri melihatnya, si pelayan langsung menunduk, melanjutkan kegiatannya menyapu lantai. Eri akhirnya membatalkan niatnya untuk sarapan di luar. Ruang makan itu terlalu sumpek baginya, ia memilih hengkang dari sana, saat seorang pengawal menghentikan langkahnya. Si pengawal (untungnya bertampang tidak terlalu sangar) membungkuk sopan, melihat pandangan permusuhan dari Eri.

Seharusnya Eri tahu ini semua akan terjadi. Setelah Kuga sukses menangkapnya saat itu, Bisa dipastikan kalau dia takkan pernah berhasil melarikan diri. Atau, walau pun berhasil lolos dari mansion itu, dia semua takkan bisa keluar dari Jepang. Untung saja Kuga masih cukup tahu diri untuk memperlakukan Eri sebagai tamu, bukannya barang taruhan seperti yang biasa dia sebutkan.

Eri menelan ludah. Memberi tanda agar pengawal itu berjalan di depannya. Pengawal itu mengantarnya melalui lorong-lorong panjang, hingga sampai di sebuah pintu kayu berukir. Pengawal itu membukakan gagang pintu berwarna emas, menampakkan ruangan di dalamnya. Sebuah ruangan yang hangat, didekor dengan warna merah dan coklat kayu. Sebuah perapian kecil di sudut ruangan masih menyisakan kobaran api dari balik kaca pelapisnya. Jendela di sana berukuran besar, menampakkan teras dan kolam renang di luar ruangan. Tempat tidurnya sendiri berukuran besar, dengan tiang-tiang kayu berukir dan kelambu krem pucat membentuk kanopi di atasnya. Di sudut-sudut lain ruangan itu masih ada cermin besar dan beberapa nakas. Sementara kamar mandinya sendiri sudah menyediakan berbagai produk kecantikan dari merek-merek ternama, membuat Eri ngeri dengan hanya melihat mereknya.

Si pengawal kini berbicara melalui HT-nya. Eri masih memelototinya. Kemudian pengawal itu berkata pada Eri, "Silakan masuk, Nona..."

"Tidak mau."

Pengawal itu membungkukkan badan lagi, "Maafkan saya..." ia berkata sambil menarik Eri dengan paksa, tak menghiraukan teriakan Eri yang mulai histeris.

"Lepaskan dia, Nishida!" suara itu membuyarkan usaha si pengawal, "Perlakuanmu pada wanita sungguh tidak sopan."

Eri menatap takjub sosok wanita di depannya. Wanita itu berusia kira-kira lima-enam tahun di atas Kuga. Rambutnya sehalus satin, berpotongan bob asimetris, dengan gradasi hitam-hijau-biru sempurna. Wajahnya kukuh, seperti porselen, sebuah anting berlian di hidung mancungnya memperlengkap penampilannya. Bukan itu saja, ia bahkan memiliki tubuh proporsional yang diidamkan oleh anak-anak gadis sedunia.

[ FULL ] My Lovely GangsterWhere stories live. Discover now