Bab 21 - Aku Akan Pergi

99 10 0
                                    

Eri berkali-kali mengutuk dirinya sendiri. Bodoh! Bodoh! Bodoh! Mengapa ia mau saja mengikuti ajakan Jade kemari. Sebuah klab malam? Yang benar saja! Seharusnya tadi Eri ngotot tinggal di rumah. Dia tidak tahan dengan bunyi-bunyian bising di telinganya. Belum lagi rasa pening di kepalanya yang makin menyiksanya.

Kuga Kyouhei brengsek!

Dia bahkan tidak terlihat sekarang. Bagaimana caranya Eri akan keluar dari Don Juan? Eri memeluk tubuhnya sendiri, menghindari seseorang yang hampir menabraknya. Disini begitu ramai. Eri tidak menyukai hingar bingar tempat itu. Baginya, minuman keras maupun kehidupan malam hanya sekedar sampah. Menjerumuskan, tapi tidak menyelesaikan masalah. Dia tidak akan pernah berpikir mengambil jalan pintas seperti itu. Hidup terlalu berharga untuk disia-siakan.

Eri memutar kepalanya untuk mencari keberadaan Jade dan yang lain. Namun sahabatnya itu tidak terlihat di manapun.

Bagus sekali...

Seorang pria terhuyung-huyung menghampirinya dalam keadaan mabuk berat, nyaris menyenggol Eri hingga jatuh. Namun sebuah tangan lebih dulu menarik dan menyangga tubuh Eri di dadanya yang bidang. Eri memicingkan mata melihat Sky telah berdiri di sebelahnya. Pandangan pria itu bahkan tidak tertuju kepadanya. Dengan agak kasar, Sky menyeret Eri keluar dari ruangan itu. Sky mengancingkan jaket kulitnya sebelum menaiki sebuah motor trail yang diparkir tak jauh dari sana. "Ambillah," dia menyorongkan sebuah helm pada Eri. Eri bergeming. Pikirannya mogok kerja total. Dengan ragu-ragu, diraihnya helm putih itu. Eri masih ragu saat menaiki jok di belakang Sky. Dia tidak akan mampu mengendalikan perasaannya setelah ini. Tapi siapa yang peduli? Dia bahkan tidak memperhatikan saat kecepatan motor itu mulai naik di atas seratus kilometer. Atau angin yang menampar tubuhnya dengan keras. Yang dia tahu hanyalah, perasaannya mulai berbicara. Kehangatan tubuh Sky menghidupkan lagi gejolak dalam dirinya. Ia ingin menghindar, tapi bukan saat ini. Diam-diam, Eri bersyukur, kebetulan sedang agak mabuk, rasa pusing akibat alkohol memupus kesadarannya kalau mereka sedang terbang di aspal jalanan. Ia belum sadar sepenuhnya, bahkan ketika ia merasa tubuhnya melayang lagi, dan mendarat mulus di sesuatu yang keras. Kayu.

"Dimana ini?" Eri mengerjap-ngerjapkan mata, menyesuaikan matanya dengan cahaya yang menyeruak dari kegelapan. Cahaya terang itu bukan berasal dari cahaya bulan. Melainkan berasal dari lampu-lampu kapal. Eri menyusuri sekelilingnya dengan pandangan mata. Lalu pandangannya bertemu dengan sosok Sky. Duduk bagai patung, posturnya masih terlihat menonjol dalam balutan keremangan cahaya.

"Aku mau pulang," keluh Eri. Ia bangkit, dan mendapati barisan ombak gelap di seluruh sisi kapal. Kapal kecil itu telah berlabuh sampai ke tengah laut. Ugh! Ia mengeluh, lalu duduk di tempatnya tadi.

Sky ikut duduk di sebelahnya. Suara pria itu terdengar membelah suara desiran ombak. Terdengar gusar dan jengkel, "Kenapa kau... lagi-lagi... bisa bersama Kuga Kyouhei? Apa kau menyukainya?"

Eri merasakan aliran panas mengalir ke kepalanya, "Mengapa kau mengajakku pergi?"

"Maaf, Aku hanya tak ingin ada yang menyakitimu."

"Makasih banyak..." Eri berkata sarkastis. Semua orang di dekatnya mengatakan hal yang sama. Hanya sebuah basa-basi sama sekali tak berarti baginya.

Pundak Sky bergetar, terlihat lebih rapuh daripada biasanya, "Seandainya kau bisa mengerti..."

Eri membalas tatapan Sky dengan merana. Perasaannya langsung gundah. Bagaimana dia bisa mengerti hal-hal di luar nalarnya?

"Aku ini monster, Eri..." pandangan tersiksa itu kembali terlihat dalam mata Sky, "Kau tak akan ingin melihatku saat aku menyakiti dan membunuh... tapi itulah yang kulakukan. Aku dulu memiliki kehidupan yang lebih baik saat aku belum memasuki dunia ini. Namun lama-kelamaan aku menyadari bahwa aku adalah orang yang sama seperti mereka. Seperti Kuga Kyouhei. ."

Sky teringat perkataan Kuga. Ciuman pertamanya adalah milikku... ia langsung merasakan sensasi tak nyaman dari perkataan Kuga itu.

"Akulah yang terlalu bodoh untuk menyadari—" Eri memalingkan wajahnya kepada Sky, "Seharusnya aku menerima tiket itu dan pergi secepat yang aku bisa."

"Apa maksudmu?'

Eri tersenyum getir, "Lalu apa yang harus kulakukan?"

Sky terdiam sejenak. Manik matanya menggelap.

Eri bangkit, duduk di sebelah Sky sambil memeluk lututnya, "Orang biasa sepertiku takkan sanggup menghadapi orang-orang seperti Kuga Kyouhei."

"Aku tidak tahu apa yang bisa kuminta darimu," Suara Sky mengalir lembut, namun deras bagai deburan ombak. Eri langsung lupa cara bernafas. Gadis itu diam beberapa saat, gemuruh memenuhi hatinya, bersamaan dengan kebahagiaan tak terkira dapat berada di sebelah Sky sekali lagi, walaupun itu akan menjadi saat terakhir baginya. "Sadarkah kau?" ia berbisik lembut, "Kau punya sesuatu, yang membuat orang sinting?"

Sesuatu yang membuat orang sinting? Eri menilai dirinya sendiri. Tak ada yang akan sinting berada di dekatnya, terkecuali orang sinting betulan.

"Sebenarnya kaulah yang sering membuatku sinting," tukas Eri, "Kau muncul dan menghilang seperti fatamorgana. Sudah cukup untuk membuatku gila.."

Sky memejamkan mata, terlihat seperti menghirup udara, "Maafkan aku."

Eri mengerutkan alis. Otaknya kini mulai mempertanyakan kecerdasannya. Atau mungkin, selain kewarasan, kehadiran Sky di sisinya perlahan juga mulai mempengaruhi IQ-nya.

"Kau tahu, kenapa aku membawamu ke tengah laut?"

"Sebenarnya aku sempat bertanya-tanya, kenapa kau melakukannya."

Sky tertawa getir, "Itu karena—" ia mendekatkan wajahnya ke Eri, sehingga ia bicara tepat di depan wajah gadis itu, "Aku tidak ingin kau kabur."

"Hah?"

"Kalau kau melompat di sini, aku masih bisa berenang dan menyeretmu kembali." Tukas Sky santai, "Hanya sebuah keinginan egois, sebenarnya..."

"Jadi, sekarang kau juga ingin menahanku?"

"Kalau boleh..." Sky menelengkan kepala dengan sedih, "Tapi aku tak ingin mengambil pilihan-pilihanmu. Tidak seorang pun dari kami berhak melakukannya..." Sky berkata sekali lagi, menelaah sudut bibir Eri dengan jarinya. Didekatkannya bibir itu ke bibirnya. Eri merasakan darahnya bergolak. Ia merasakan asa yang bergelora dan menghanyutkan. Seperti buih ombak membelai pantai dengan segenap kelembutan, sampai-sampai tak mampu ditolak setiap sel dalam dirinya. Salah! Salah! Salah! Kenyataan ini terlalu indah untuk diharapkan. Membekukan waktu, membekukan segalanya, bahkan membekukan logika sehingga Eri tak mampu melakukan tindakan defensif, karena memang tak mau melakukannya. Ciuman itu menyuarakan isi hatinya, kalau selama ini ia memang mencintai pria itu sepenuhnya. Ia ingin menjadi milik Sky, memuja pria itu, dan ingin sepenuhnya dicintai. Menyedihkan...

"Maafkan aku."

Eri mendesah, "Aku akan pergi." Katanya parau, "Aku akan pergi dimana tak seorang pun dari kalian bisa melihatku..."

[ FULL ] My Lovely GangsterWhere stories live. Discover now