2014 : 01

6.4K 226 8
                                    

There might be typos, kindly tell me!


----------


Jogja, September 2014, siang hari


"Wah, kusamnya!" celetuk seorang pemuda berseragam.

"Di Gunungkidul nggak ada Flaurent, nggak bisa facial," ujar gadis di hadapannya, menyebutkan salon langganannya di Kota Jogja.

"Emang nggak dicuci mukanya?"

"Kalau di lokasi KKN nggak susah air, aku udah cuci muka dua kali sehari! Ini sehari sekali bisa mandi lengkap aja udah sujud syukur."

Pemuda itu terkekeh. "Tapi tetep cantik, kok," pujinya tulus.

Gadis itu mencibir. "Gombalnya lho, boleh kurang-kurangin."

"Kan cuma sama kamu gombalnya."

"Apaan sih. Simpan gombalmu itu untuk pacar atau istrimu nanti."

Pemuda itu tersenyum lembut. Dia pun mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya ke hadapan sang gadis yang langsung waspada di tempatnya.

Melihat benda di atas meja itu, sang gadis memijat pelipisnya. Baru sehari dia kembali dari KKN di Gunungkidul, pemuda di hadapannya itu memintanya bertemu, bahkan sedikit memaksa. Dalam hati dia menggerutu, karena selain masih lelah, pemuda berseragam itu menyodorkan suatu benda yang membuatnya pusing.

"Apa ini?"

Bukannya dia tidak tahu benda apa itu. Dia pernah melihatnya di foto lawas milik kedua orang tuanya semasa masih pacaran dulu. Di foto itu, ibunya mengenakan benda yang persis dengan yang kini sedang ditatapnya itu, di jari manisnya.

"Cincin paja," sahut pemuda itu cepat.

Gadis itu menghela nafas. "Aku tahu. Maksudku, kenapa kamu ngasih cincin paja ini ke aku?"

Pemuda berseragam itu mencondongkan tubuhnya ke depan, semakin dekat dengan sang gadis yang hanya menatapnya datar.

"Kamu pasti paham tanpa aku harus kasih tahu," ujarnya. "Aku mau kamu jadi pendamping hidupku ke depannya. Sebentar lagi aku lulus dari akmil dan kalau kamu mengizinkan, aku mau menikahi kamu setelah aku jadi perwira pertama. Atau setidaknya setelah kamu lulus kuliah... atau kapanpun kamu siap."

Pemuda itu tahu kalau gadis cantik di depannya ini menegang setelah mendengar rentetan kata yang dia ucapkan. Sejenak, pikiran negatif berkeliaran di kepalanya, tetapi sebisa mungkin dia menghalau kemungkinan buruk itu. Dia jauh-jauh datang dari Magelang bukan untuk menerima penolakan.

"Rei, kamu tahu kan..."

"Aku calon perwira angkatan darat, kalau kamu lupa. Kemungkinan aku mati karena kecelakaan pesawat tempur itu kecil, Kia."

Kia, gadis itu, menggeleng tegas. "Aku tahu, Rei. Kamu nggak akan kayak Ayah. Tapi kamu tahu kan, aku punya banyak cita-cita?"

Rei tidak menyerah. "Kalau kamu jadi ibu Persit, itu akan menjadi suatu kebangaan buat kamu."

"Kamu nawarin sesuatu yang mustahil, Rei," ujar Kia dengan suara melemah, mulai lelah. "Kamu akan banyak ninggalin aku, kamu tahu? Aku juga bakal ikut kegiatan ini itu bareng ibu-ibu Persit. Bukan itu yang aku mau. Aku nggak bebas."

Ya, Rei sangat tahu itu. Itulah sebabnya Rei tidak pernah menembak Kia, meskipun dia sangat ingin menjadikan gadis itu pacarnya. Kia menyukai kebebasan dan Rei mungkin tidak akan mampu memberikan itu. Dia juga tahu kalau memberikan cincin paja kepada Kia beresiko besar ditolak. Tapi sungguh, dia benar-benar ingin karir di dunia militernya nanti didampingi oleh Kia. Selain itu, ibunya sudah sangat menyukai gadis itu berkat latar belakang keluarga besarnya. Almarhum ayah Kia dulunya tentara, sahabat baik ayahnya sendiri.

"Kia..." panggil Rei, "justru hidup kamu akan jauh lebih mudah kalau jadi istriku. Kebutuhan kamu terpenuhi tanpa kamu harus susah-susah kerja."

"Itulah yang aku nggak mau, Rei!" sela Kia. "Kamu pikir untuk apa Bunda nyekolahin aku sampai setinggi ini kalau cuma buat jadi ibu rumah tangga?!"

Rei bungkam, tidak tahu lagi harus bilang apa. Dia tahu betul kalau memperistri Kia sama dengan membunuh mimpi-mimpi gadis itu, tapi sungguh, berapa kali harus Rei bilang bahwa dia cuma mau Kia? Sejak SMA, dia selalu memperhatikan teman sekelasnya itu dengan saksama. Gerak-geriknya, kebiasaannya, bahkan apa yang Kia suka atau tidak suka. Di hari kelulusan, akhirnya dia menawarkan hal yang lebih dari pertemanan yang disambut ragu oleh Kia karena dia sudah memilih jalan menjadi tentara. Namun sekarang? Rei melamarnya dan tetap saja ditolak!

"Apa kamu sayang sama aku, Kia? Kamu cinta aku?"

Kia tersenyum tipis. "You are my first love."

Jawaban itu membuat Rei melambung sebentar, tapi dia tahu tidak baik terus melayang, apalagi jika Kia penyebabnya. Dia harus kembali berpijak di permukaan bumi.

"Lalu, apa yang bikin kamu ragu?"

"Visi hidup kita nggak sama, Rei. Cuma itu."

Rei tidak puas. "Tapi kamu cinta sama aku, kan?"

"Untuk apa cinta kalau aku tahu nantinya kita akan banyak ribut hanya karena visi yang beda? Aku mau gini, kamu harus gitu." Kia diam sejenak. "Akan ada perempuan lain yang mau jadi ibu Persit dan mendampingi kamu, Rei. Tapi bukan aku."

"Mungkin kamu cuma nggak siap aja," putus Rei.

"Rei..."

"Tolong, pertimbangkan lagi. Aku nggak akan ambil cincin paja itu, jadi silakan kamu simpan dulu. Ketika nanti aku datang lagi, aku harap kamu sudah siap."

***    


Note:

Bukan berarti saya merendahkan pekerjaan apapun, ya. Ini murni hanya cerita tentang seorang perempuan yang tidak siap menjadi istri tentara karena dia punya visi dan gambaran tentang pernikahan yang tidak sama dengan yang diinginkan Rei. After all, para istri tentara itu hebat dan tangguh banget! ^^

TraveloveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang