2017 : 06

1.5K 125 7
                                    

HALOOO~ maaf ya hiatus sebulanan lebih. Banyak hal terjadi, jadi aku memutuskan untuk hiatus tanpa bilang-bilang. Terima kasih untuk kamu yang masih menunggu kelanjutan cerita ini, ya ^^

seperti biasa: read, comment, vote. benerin typo juga boleh.


---


Perjalanan kereta dari Jakarta menuju Jogja, Juli 2017, siang menjelang sore hari


Perjalanan dari Jakarta menuju Jogja memakan waktu hampir delapan jam. Selama itu, Kia dan Bram mengisinya dengan mengobrol, makan camilan, mendengarkan musik, kadang juga menonton tayangan di televisi gerbong, tapi keduanya tidak pernah tidur. Padahal baik Kia maupun Bram sama-sama letih setelah berkegiatan di Jakarta. Mungkin karena hampir tiga tahun tidak bertemu, sekalinya bertemu mereka saling mengejar ketertinggalan satu sama lain.

Mereka tidak lagi membahas "tembakan" Bram. Diskusi yang mereka nikmati adalah cerita Bram mengenai perjalanannya menyusuri pantai dan kisah Kia tentang perjuangannya mencari pekerjaan sebelum sampai di Wartawara. Kia sedikit terkejut karena dia justru berpikir bahwa Bram memang sering ke pantai. Toh mereka pertama bertemu juga di pantai. Di sisi lain, Bram tidak menceritakan tujuannya mengunjungi pantai. "Keindahan langit dan awan nggak cuma bisa didapatkan dari puncak gunung, ternyata," begitu dalihnya.

Kia menceritakan betapa susahnya mencari pekerjaan di masa sekarang ini. Banyak pameran pekerjaan yang ia datangi, namun untuk posisi yang khusus untuk lulusan jurusan psikologi terhitung sedikit. Sudah begitu, jarang dipanggil untuk wawancara atau tes lanjutan. Ketika sudah sampai tahap yang jauh pun, dia tidak terpilih. Dengan menahan segala kecewa, Kia hanya mampu menerima pekerjaan lepas sebagai pemandu psikotes berkat koneksi dari teman-temannya.

"Berarti kamu tahu semua kunci jawaban psikotes?" tanya Bram, tertarik dengan cerita gadis manis itu.

Kia tertawa. "Nggak, lah. Beberapa subtes, mungkin, tapi nggak semuanya juga."

Bram manggut-manggut. Kemudian, ia teringat sesuatu. "Terus, tes apa tuh yang disuruh gambar pohon dan orang segala?"

"Ah, tes grafis?"

"Nah, itu. Saya masih penasaran, apa sih yang dinilai dari gambar kita? Bagus atau enggaknya, atau gimana?"

Senyum maklum menghiasi bibir Kia. Pertanyaan semacam itu sering sekali ditanyakan oleh orang-orang yang awam tentang psikotes. "Bukan, Mas. Hal lain yang dinilai, tapi saya nggak bisa bilang. Takut menyalahi kode etik," jawabnya sopan.

"Ya elah," keluh Bram. "Padahal kalau kamu kasih tahu, saya nggak akan susah cari kerjaan."

Kia mengangkat bahunya. "Saya tahu sedikit, tapi nggak pernah terlintas di pikiran saya untuk memalsukan segala tentang diri saya pada pekerjaan yang saya lamar."

Bram menatap gadis di sampingnya itu. "Jadi, kamu nggak pernah menggambar secara 'sebagaimana mestinya'?" tanyanya seraya menggerakan jari telunjuk dan tengah kedua tangannya seperti tanda kutip.

"Yup," jawab gadis itu, membalas tatapan penasaran dari pria di sampingnya. "Anggaplah saya sedang memberitahu keadaan saya yang sebenarnya secara tersirat kepada mereka. Seperti, 'ini lho, gambaran besar kinerja saya nantinya di perusahaan ini', gitu. Perusahaan yang saya lamar berhak tahu apakah saya layak menjadi bagian dari mereka atau tidak."

"Lalu, perusahaan yang sekarang tahu bahwa kamu layak?"

"Sepertinya. Tapi mereka tahunya bukan dari hasil tes grafis saya. HRD zaman sekarang sudah berkembang pesat, sudah melek teknologi dan informasi. Jadi, mereka menelusuri akun-akun media sosial saya. Saya yang awalnya melamar posisi staf HRD malah ditawari jadi penulis artikel segmen Travel di Wartawara karena mereka menemukan blog saya yang isinya catatan perjalanan ke tempat-tempat yang pernah saya kunjungi."

TraveloveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang