2016 : 01

1.5K 128 1
                                    

Read, vote, comment! Jangan lupa dukung Travelove di ajang wattys 2018 ^^


---


Semarang, Januari 2016, pagi hari


Bram menghentikan motornya di depan suatu hostel. Tangannya merogoh saku celana jinsnya, mengambil ponsel. Segera dia layangkan chat kepada seseorang yang sedang berada di dalam hostel itu.

Beberapa saat kemudian orang yang Bram tunggu menampakkan dirinya dengan senyum tipis menghiasi wajahnya. Mau tak mau senyum itu menular kepada Bram.

"Maaf lama, tadi ngabisin makanan dulu."

Bram terkekeh mendengar penuturan perempuan itu.

"Berarti nanti nggak usah makan siang, kan?" goda Bram seraya memberikan helm kepada sang perempuan.

"Wih, perut ini cepet lapar, lho. Aku pelihara naga di dalam!"

Kali ini Bram tertawa. "Zakiyya, Zakiyya. Kamu ini lho. Udah yuk naik!"

Begitu helm diterima dan Zakiyya, perempuan itu, naik ke atas motornya, Bram melaju dengan kecepatan sedang.


*


Sebagai awalan, Bram membawa Zakiyya ke Lawang Sewu. Bless her luxurious handphone, Zakiyya jadi sering meninggalkan Bram untuk mengambil foto-foto di tiap sudut Lawang Sewu yang menurutnya menarik. Bram yang memang tumbuh di Semarang tidak merasa spesial dengan kunjungan kali ini, toh sama saja seperti puluhan kunjungan sebelum ini. Namun, tentu ia maklum dengan tingkah Zakiyya yang mendadak kekanak-kanakan seperti itu karena Lawang Sewu bukanlah suatu hal yang ada di kotanya.

Pun seperti saat Bram mengajaknya ke Sam Poo Kong. Di sini, Zakiyya tidak hanya melihat-lihat dan foto-foto, tapi juga memakai pakaian adat Tiongkok yang disediakan. Kali ini Bram yang bertugas jadi tukang foto dengan imbalan lumpia sepulang dari Sam Poo Kong. Not bad. Setidaknya perutnya akan terjamin.

Zakiyya terlihat anggun dengan pakaian tradisional Tiongkok itu. Namun, entah mengapa hati Bram tidak tergelitik ataupun tersentuh dengan tampilan perempuan itu. Tawa semringahnya pun tidak mampu menggerakkan bibir Bram untuk terbuka lebar—hanya tersenyum tipis. Tidak seperti...

Bram mengusap wajahnya kasar. Tidak seharusnya ia mengingat gadis manis yang dulu ia temui di Gili Trawangan itu. Bram terus menstimulasi pikirannya agar tidak lagi memikirkan Kia, namun ia masih mengharapkan kesehatan bagi gadis itu. Tidak masalah jika ia tidak bertemu lagi dengan Kia. Ia hanya ingin gadis itu sehat, selamat, dan selalu dalam lindungan-Nya.

Benarkah lo nggak perlu ketemu dia lagi?

Pertanyaan itu ditujukan oleh Bram kepada dirinya sendiri. Sebagian kecil di lubuk hatinya yang paling dalam, dia tidak mau munafik. Tentu saja dia mau bertemu dengan Kia lagi, namun sekarang ia hanya bisa memasrahkan diri kepada Tuhan. Bram juga sadar bahwa tidak seharusnya dia membanding-bandingkan Zakiyya atau perempuan lainnya dengan Kia, dan hal itu diakuinya sebagai kesalahan.

Di awal kedekatannya dengan Zakiyya, dia memang sering membandingkan perempuan itu dengan Kia. Secara fisik, terutama, karena Bram memang tidak terlalu mengenal Kia secara personal. Hanya dua hari bersama Kia, tentu sangat kurang untuk lebih mendalami gadis itu. Namun, dia ingat bahwa Kia sedikit dingin, mungkin karena membangun tembok agar tidak ada sembarang orang masuk ke hatinya. Zakiyya sendiri lebih terbuka, meskipun pendiam. Memang obrolan mereka lebih banyak didominasi Bram, namun bukan berarti Zakiyya hanya diam saja.

TraveloveWhere stories live. Discover now