2017 : 09

1.1K 112 4
                                    

hai! apa kabar? semoga pada sehat-sehat aja ya, soalnya di sini lagi pada sakit flu (aku juga) dan untuk yang sudah terlanjur sakit semoga cepat sembuh. sakit apa aja, sakit flu, batuk, gigi, hati... (eh)

seperti biasa ya, read, vote, comment, dan boleh banget kalau mau benerin typo ^^

enjoy!


---



Jakarta, Oktober 2017, pagi hari


Hari Sabtu. Bagi Kia, itu bukan hanya sekadar hari untuk beristirahat, tapi juga hari untuk meregangkan otot dan menyegarkan kembali otaknya yang sudah penuh. Atas saran rekan-rekan kerjanya, bahkan bosnya, Sabtu dan Minggu tidak boleh berurusan dengan pekerjaan. Apalagi dirinya masih berstatus trainee. Khusus untuk para trainee dari divisi manapun memang ditetapkan hari kerja hanya lima hari. Nantinya ketika sudah resmi menjadi karyawan, mereka tetap masih bekerja lima hari, namun di hari libur akan tetap bekerja di rumah atau kos.

Selepas subuh, Kia kembali tidur. Namun, sekitar pukul delapan, ibu kos menyambangi kamarnya. Suara ketukan di pintu (tapi mungkin lebih tepatnya gedoran) tidak sulit memaksa kelopak matanya untuk terbuka. Ada apa? Bukannya Kia sudah membayar sewa kamar kos bulan ini?

Cepat-cepat Kia memakai kerudung instan dan jaketnya. Kos campuran tentu membuatnya makin berhati-hati. Meskipun ibu kos yang mengetuk pintu, siapa tahu di belakang sang ibu kos ada cowok numpang lewat.

"Ya, Bu?" tanya Kia.

"Ada tamu buat Neng Kia," kata sang ibu kos.

Kia menaikkan alisnya. "Tamu? Siapa?"

"Cowok, tinggi, gagah, ganteng pula," jawab ibu kos dengan mata berbinar. "Kalau nggak salah namanya... aduh, siapa tadi? Bram apa ya? Pokoknya dari Semarang, gitu."

"Bram?!" Kia terkejut. "Bram?!"

"Iya, bener, Bram. Ada di ruang tamu, tuh. Sekalian ibu bikinin kopi, ya? Neng Kia mau minum apa?"

Kia masih bengong dengan kenyataan akan siapa yang datang menemuinya. "Apa aja boleh," jawabnya, dan tanpa berlama-lama Kia segera melesat ke ruang tamu indekosnya.

Ibu kosnya tidak berbohong. Bram benar-benar ada di sana, nyata, dan tersenyum lebar kepadanya. Kia menganga, masih tidak percaya dengan apa yang lensa matanya tangkap. Awalnya dia mengira bahwa ini adalah ilusi optik, namun ketika diam-diam dia mencubit pahanya, dia merasakan sakit. Sederhana, itu artinya dia tidak sedang bermimpi.

"Kok Mas Bram bisa ada di sini?!" Kia memekik pelan.

"Assalamu 'alaikum," Bram menyalami. "Baru bangun, ya?"

"Wa... wa 'alaikum salam. Iya, baru bangun. Maaf ya, belum sempat cuci muka dan gosok gigi," jawab Kia sembari duduk di seberang Bram. Sebisa mungkin menciptakan jarak agar pria itu tidak mencium bau yang aneh dari nafas paginya.

"Nggak, saya yang harusnya minta maaf karena pagi-pagi sudah ke sini."

Kia mengangguk. "Kenapa Mas Bram ke sini?"

Bram tersenyum. "Pengin ketemu kamu."

Sebagian kecil dari hati Kia memilih untuk percaya, sebagian yang lain tidak. Entah mengapa, Kia dapat melihat bibir Bram sekilas bergetar, seolah ada suatu hal yang ingin dikatakannya namun tertahan. Dia sempat berpikir bahwa apa yang tertahan di mulut Bram adalah hal yang buruk—mau minta putus, misalnya?—namun firasatnya baik-baik saja. Malah, terlewat biasa.

TraveloveWhere stories live. Discover now