2018 : 20

1.2K 91 1
                                    

selamat hari selasa! apa kabar semuanya? baik dong pasti ^^ yang lagi nggak baik semoga cepat baik lagi ya~ hehe

sepertinya judul alternatif yang tepat untuk bab kali ini adalah "Telepon" karena semua percakapan di sini adalah melalui telepon. ngomong-ngomong, Bram absen dulu dari bab kali ini ya, semoga bisa muncul di bab minggu depan ^^

seperti biasa, read-vote-comment dan boleh banget bantuin benerin typo.

enjoy~!


---


Jakarta, Oktober 2018, malam hari


Kia baru saja selesai mandi ketika ponselnya berbunyi. Dia mengernyit begitu melihat nama penelepon, tetapi karena dia kenal betul orang tersebut tentu saja langsung diangkatnya.

"Assalamu 'alaikum, Tante Halimah?" sapanya dengan hati was-was.

Betapa tidak? Tante Halimah, alias ibunya Rei, tiba-tiba meneleponnya. Sedekat apapun mereka, Tante Halimah sangat jarang meneleponnya. Kia sempat berpikir apakah beliau membencinya karena telah menolak lamaran Rei, tapi toh beliau masih berhubungan baik dengan bundanya. Lalu, ada apa gerangan sehingga Tante Halimah meneleponnya malam-malam begini?

"Wa 'alaikum salam, Kia. Nduk, apakah Rei menghubungi kamu?" tanya Tante Halimah dengan nada sedikit panik.

Kia makin bingung. "Nggak, Tante. Sekitar dua atau tiga hari lalu dia memang menghubungi saya, tapi setelah itu tidak ada kontak lagi. Ada apa, Tante?"

"Tante dengar tadi di berita kalau di Palu mulai ada likuefaksi. Nduk Kia sudah dengar?"

"Ah, tadi sempat lihat berita waktu masih di kantor, tapi sambil lalu saja," aku Kia. "Likuefaksi, ya?"

Likuefaksi, yang tadi sempat Kia dengar di televisi kantor, merupakan pencairan tanah di mana tanah yang berair dapat menjadi seperti lumpur dan mampu merobohkan bangunan di atasnya. Setidaknya itu yang bisa Kia tangkap.

"Rei terakhir mengabari kalau dia ditugaskan untuk membantu evakuasi di daerah yang terkena likuefaksi itu, tapi belum ada kontak lagi setelah itu," kata Tante Halimah. "Aduh, Nduk, Tante benar-benar khawatir terjadi sesuatu dengan Rei..."

Kepanikan Tante Halimah sebetulnya menular kepada Kia, tetapi gadis itu sudah berjanji pada dirinya sendiri agar tidak terlalu berpikiran negatif.

"Tante, kapan terakhir Rei mengabari?" tanyanya hati-hati.

"Kemarin," jawab Tante Halimah.

Kia menggigit bibirnya. "Begini saja, kita berdoa sama-sama agar Rei selalu dalam lindungan Allah ya, Tante? Mungkin Rei belum menghubungi Tante karena di sana susah sinyal, kita juga nggak tahu, kan. Apalagi Rei berada di lokasi bencana, jadi ada kemungkinan dia kesusahan sinyal."

Ada jeda beberapa detik setelahnya. Kia tahu bahwa Tante Halimah sedang mempertimbangkan kata-katanya. Gadis itu lega karena ibu Rei tersebut berangsur tenang, kentara dari embusan nafasnya yang mulai teratur.

"Kamu benar... Tante terlalu khawatir. Seharusnya Tante lebih banyak berdoa, bukannya panik," sesal Tante Halimah. "Maafin Tante ya, Nduk."

"Nggak apa-apa, Tante. Wajar kalau Tante panik, karena Rei sedang turut membantu di daerah bencana dan sedang tidak bisa dihubungi. Saya mengerti, kok," hibur Kia.

Tante Halimah diam sejenak sebelum berkata, "Nduk, Tante dengar kamu sudah menerima pinangan orang lain?"

Jantung Kia seperti melewatkan satu detakan. "Emm... siapa yang bilang, Tante?"

TraveloveHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin