2018 : 16

1K 89 1
                                    

masih hari selasa! yeay! hahahahaha

apa kabar? kabarku baik, tapi lagi sakit gigi :(

anyways, chapter ini kayaknya boring tapi aku bisa bilang bahwa Travelove mulai mendekati akhir.

jangan sedih ya... hehehe

seperti biasa, read-vote-comment dan bantu aku benerin typo yuk ^^

enjoy!


---


Lombok, Agustus 2018, malam hari


Bram sedang berjaga malam ketika ponselnya akhirnya berbunyi. Setelah sunyi beberapa hari, gawai miliknya itu mendapatkan sinyal internet juga. Cepat-cepat dia membuka WhatsApp dan memeriksa pesan dari orang tuanya, Baim, dan Kia. Meskipun orang tuanya dan juga Baim sudah sempat menelepon biasa alias pakai pulsa, tetap saja yang di sini harus dibalas karena dia anak berbakti.

Bram ingat ibunya sempat menelepon dan menyampaikan bahwa Kia menghubungi beliau. Mendengar itu dia mendadak keringat dingin karena kepergiannya ke Lombok sudah ketahuan. Dia bermaksud untuk menyembunyikannya karena tahu Kia akan marah kalau dirinya nekat. Bukannya dia tidak mengerti akan kekhawatiran Kia, tapi jiwa sosialnya terpanggil untuk turut menjadi relawan. Nanti dia akan menjelaskan hal itu lebih lanjut kepada Kia dan meminta maaf padanya.

Kia mengirimkan banyak sekali pesan. Rupanya dia juga beberapa kali meneleponnya, namun sinyal tidak mengizinkannya untuk menerima telepon kekasihnya itu. Bram sempat bertanya dalam hati mengapa Kia tidak mencoba menelepon biasa, bukan lewat WhatsApp, tapi kemudian dia ingat bahwa Kia sedang berada di Kuala Lumpur. Pasti dia nggak beli kartu SIM Malaysia dan menjadi fakir WiFi, batin Bram sambil cengengesan.

Ketika Bram hendak membalas pesan Kia, tahu-tahu nama Kia terpampang lebih besar. Rupanya gadis itu meneleponnya. Segera diangkatnya telepon itu karena cukup kaget dan panik.

"Assalamu 'alaikum, Kia?"

Selama tiga detik Kia tidak menjawab salamnya, tapi Bram sedikit abai tentang hal itu. Dia pun melanjutkan, "Saya baru mau balas chat kamu, Ki. Saya baru terima chat kamu karena baru dapat sinyal. Eh, kamu malah telepon duluan. Kamu masih di Kuala Lumpur?"

Kali ini bukannya jawaban ataupun sunyi yang didengarnya, melainkan isakan tangis. Awalnya samar, tapi lama-lama Bram menyadari bahwa Kia menangis. Kekagetannya pun berubah menjadi bingung.

"Lho, Kia? Kamu nangis? Kenapa? Halo? Kia...?"

Masih belum ada jawaban. Bram memutuskan untuk membiarkan dan mendengarkan Kia menangis, dan menunggu hingga reda dengan sendirinya. Sekitar semenit dia diam mendengarkan tangisan kekasihnya di telepon. Awalnya dia akan menunggu sampai kapan pun Kia berhenti menangis, tapi kemudian dia teringat bahwa sinyal internet di tempatnya berada sekarang sedang lumayan susah didapatkan.

"Ki—"

"I don't want to let you go," bisik Kia. "I'll never ever let you go."

Bram terdiam. Dia mengerti arti dari kalimat dalam bahasa Inggris yang baru saja Kia lontarkan, tapi otaknya masih gagal untuk mencerna apa maksudnya.

"Gimana, Ki?" tanyanya memastikan.

"Saya menerima lamaran Mas Bram."

Jantung Bram serasa berhenti seketika. Mulutnya menganga, matanya melebar. Kakinya pun melemas sehingga dia jatuh terduduk di atas tanah. Otaknya seperti kosong dan tak mampu mencerna apapun.

TraveloveWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu