3. Lawden Hall

26K 2.4K 148
                                    

Entah kenapa Adnan yakin sekali, sekolah asrama ini akan menjadi penjara baginya.

• • •

Decitan rem mobil yang dikendarai supir pribadi Oma Titiek terdengar jelas tepat di depan sebuah bangunan yang sangat besar dengan halaman yang luas. Besarnya nyaris sama seperti istana raja. Di atas gerbang besarnya tertulis dengan ukiran beton yang sangat jelas "LAWDEN HALL".

"Ini sekolahnya, Oma?" Raihan yang ikut mengantar adiknya, seketika bertanya sambil menatap 'WAH' bangunan artistik dengan nuansa asri yang berdiri kokoh di depan matanya.

"Iya. Oma baca di internet, katanya Lawden Hall ini salah satu sekolah asrama terbaik. Lulusan sini kebanyakan orang-orang cerdas dan terkemuka. Makanya Oma daftarkan Adnan di sini."

"Keren banget Oma! Kayak istana!" seru Raihan, terpukau.

"Dari luar doang keliatannya kayak istana, dalemnya neraka!" Dari raut wajah Adnan terlihat jelas kalau sebetulnya ia tidak suka dengan putusan ini. Ia sungguh tidak bisa membayangkan bagaimana nasibnya nanti selama dua setengah tahun ke depan? Ia benar-benar tidak menyangka kalau masa indah SMA-nya akan ia habiskan dengan cara yang pastinya sangat membosankan.

Raihan terkekeh. "Udah, masuk sana, turun. Masuk ke sekolah plus tempat tinggal baru lo."

"Eh, tunggu!" Baru juga Adnan hendak membuka pintu mobil, tahu-tahu Oma Titiek menahannya. "Ini kartu asrama kamu. Untung Oma gak lupa. Kalau Oma lupa, kamu gak akan bisa masuk."

Dengan malas-malasan Adnan mengambil sekeping ID Card yang disodorkan omanya. Lalu turun dari mobil, kemudian mengeluarkan barang-barangnya yang sudah ia kemas ke dalam koper besar.

"Sekolah lo yang bener, Oma udah bayar mahal buat nyekolahin lo di sini."

"Gue gak minta sekolah di tempat mahal," tanggap Adnan ketus sebelum akhirnya ia menutup pintu mobil dengan sekali banting. Lalu berjalan begitu saja bersama kopernya ke dalam bangunan Lawden Hall.

🍐

"Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu, Dik?" Tiba-tiba seorang pria berbadan tegap yang mengenakan seragam security itu menghampiri Adnan yang berjalan seperti orang linglung saat memasuki area Lawden Hall.

"Saya siswa baru di asrama ini, Pak."

"Maaf, boleh lihat ID Card-nya?" ucap pria itu dengan sangat sopan pada Adnan.

"ID Card?" Adnan sempat bingung beberapa detik. Namun tak lama ia ingat sesuatu yang diberikan Oma tadi. "Oh, bentar, Pak." Ia merogoh saku celana jeans-nya. Kemudian menyodorkan apa yang diminta Pak Security.

Pria yang memiliki dada bidang, dengan name tag Surapto yang menempel di seragamnya itu mengambil ID Card Adnan. Melihatnya sebentar, lalu ia serahkan lagi pada pemiliknya. "Kalau gitu silakan masuk, Dik."

"Makasih, Pak." Adnan tersenyum dengan anggukkan samar.

Adnan berdiri diam sejenak. Memandangi ukiran pintu besar berbahan dasar marmer yang berada beberapa senti di hadapannya. Menarik napas berat. Entah kenapa Adnan yakin sekali, sekolah asrama ini akan menjadi penjara baginya. Tapi setidaknya penjara di sini lebih terpandang ketimbang ia harus benar-benar mendekam di penjara sungguhan.

Seusai mempersiapkan mentalnya matang-matang, Adnan yang baru saja ingin membuka pintu tersebut, seketika menunjukkan raut wajah yang heran. Matanya sibuk mencari gagang pintu yang seharusnya berada di tengah. Tetapi ini tidak ada. Kalau begini caranya bagaimana ia bisa masuk ke dalam?

Adnan menggaruk kepalanya, kebingungan. Meneliti permukaan pintu besar yang berada di hadapannya sekarang dengan seksama.

"Pakai ID Card, Dik." Tiba-tiba suara Pak Surapto terdengar lagi. Saat menoleh Adnan mendapati bapak itu berjalan mendekat.

Emerald Eyes 1&2Where stories live. Discover now